Advertisemen
Kenalilah Allah dengan Allah
(Imam ‘Alî bin Abi Thalib as)
Latar Belakang
Modernisme dan sekularisme yang terjadi di
Dunia Barat setelah renaisans memiliki pengaruh yang meluas di seluruh dunia.
Rene Descartes, Bapak filsafat modern Barat, memulai segala pencarian
kebenarannya dari diktumnya yang terkenal cogito ergo sum, “aku berpikir maka
aku ada”.
Dalam diktum ini terkandung semangat
rasionalisme yang menggebu-gebu. Dengan filsafatnya, Rene Descartes berhasil
menyelamat-kan keyakinannya akan Keberadaan Satu-Satunya Substansi Yang Hakiki,
yakni Tuhan Yang Mahasempurna. Namun layak pula untuk dicatat bah-wa tidak
sedikit hal-hal buruk yang muncul akibat pengaruh filsafat Des-cartes;
munculnya idealisme Berkeley yang menafikan sama sekali alam materi, maupun
empirisme Hume yang menafikan sama sekali alam spiri-tual. Juga munculnya
tendensi ke arah eksistensialisme. Bukankah dengan diktum “aku berpikir, maka
aku ada”, yang terpenting bagi seseorang adalah “aku”nya yang “berpikir”?
Munculnya serangan baru terhadap seluruh bangunan metafisika yang dibangun di
atas batu bata “susunan proposisi bahasa filosofis yang ketat” dalam filsafat
Barat abad 20 — misalnya oleh Wittgenstein dan gurunya Russel — menggoyahkan
tatanan filsafat Ilahiah yang didasarkan atas rasionalisme Descartesian.
Tulisan ini membahas mengenai kemungkinan
membangun kesadaran dan penetapan akan Keesaan Tuhan, tanpa terjebak pada
keber-pikiran manusia yang tak pernah luput dari kategori benar dan salah.
Meletakkan keyakinan kepada Tuhan hanya pada keberfikiran — yang tentu tidak
pernah luput dari dualisme benar dan salah — akan memiskin-kan seseorang dari
kekayaan pengalaman mistis, yang sebenarnya tertanam secara potensial dalam
jiwa seseorang. Makalah ini — merupakan elaborasi lebih lanjut karya Yazdi,
Knowledge by Presence — akan menjelaskan kemungkinan untuk membangun suatu
epistemologi yang di dalamnya Kesadaran Uniter Ilahiah memiliki nilai
objektifitasnya tanpa selalu harus melewati proses keberfikiran manusia.
Kebimbangan Descartes
Berhubung indera ada kalanya menipu kita, saya
berniat menganggap bahwa apa yang biasa ditampilkan oleh indera kita itu
sebenarnya tidak ada. Di samping itu mengingat bahwa ada orang-orang yang
keliru ketika menalar masalah geometri yang paling sederhana sekalipun
sampai-sampai melakukan paralogi, serta mengingat pula bahwa saya sendiri pun
mungkin keliru seperti yang lain, maka saya buang semua penalaran. Dan yang
terakhir, karena beranggapan bahwa semua pemikiran yang muncul pada waktu kita
sadar dapat pula datang ketika sedang tidur, tanpa ada yang benar satu pun,
saya memutuskan untuk berpendapat bahwa segala hal yang pernah terlintas di
dalam angan-angan tidak lebih benar daripada ilusi-ilusi dalam mimpi saya.
Namun segera sesudahnya saya menyadari bahwa — sementara saya berpikir bahwa
semuanya tidak benar — saya yang memikirkannya harus merupakan sesuatu. Saya
perhatikan bahwa kebenaran ini: ‘saya berpikir, jadi saya ada’ (cogito
ergosum), begitu kokoh dan yang paling berlebihan pun tidak akan mampu
menggoyahkannya. Karena itu, saya menilai bahwa tanpa takut salah saya dapat
menerimanya sebagai prinsip pertama dari filsafat yang saya cari.12
Kutipan yang lalu dari “Risalah tentang
Metode”(Le Discours de La Methode) merupakan tonggak filsafat modern yang
beraliran Cartesianis. Beberapa ciri Cartesianisme Descartes; Pertama, sangat
kritis dalam mempertanyakan segala sesuatu yang masuk ke dalam relung
pengalaman dan pemikiran kita. Kedua, memiliki suatu “ketakutan filosofis”
(baca pula: “kecermatan filosofis”) yang demikian kuat terhadap seluruh
pemahaman kita akan realitas, bahkan pandangan mata kita sen-diri diragukan
sebelum dianalisa pikiran kita. Ketiga, mencari nilai dari seluruh realitas
pengalaman manusia dari “keberpikirannya”. Artinya, suatu pengalaman
sebagaimana pengalaman itu sendiri tidak dianggap memiliki nilai kenyataan
sebelum diverifikasi oleh pikiran.
Di sini muncul sebuah pertanyaan yang
fundamental, apakah seluruh pengalaman manusia3 memperoleh nilainya sebagai suatu kenya-taan
obyektif hanya melalui verifikasi pikiran? Atau dengan kata lain, apakah
seluruh kenyataan objektif yang kita alami, baru dianggap valid setelah melalui
penilaian subyek yang berpikir? Apakah benar bahwa tidak ada pengetahuan
objektif tanpa diverifikasi oleh pikiran?
Keberatan pertama terhadap metode keraguan ini
muncul tatkala kita mengamati bahwa tidak semua pengalaman alamiah dapat
diliputi oleh pikiran. Sebagai contoh, nilai objektif rasa manis tidak perlu
divalida-si lagi selain oleh kehadiran rasa manis pada subyek yang
merasakannya. Contoh lain adalah rasa sedih, gembira, cemas, bersemangat.
Pengalaman- pengalaman ini tidak memerlukan pembenar apa pun selain kenyataan
bahwa ia telah dialami oleh subjek (yang tidak perlu dalam keadaan ber-pikir).
Pengalaman seperti ini tidak membutuhkan dan tidak akan pernah membutuhkan
validasi fikiran kita untuk memperoleh nilai objektifitasnya. Pengalaman
tersebut memiliki nilai obyektifitasnya sendiri dengan dirinya sendiri.
Objective by itself, bukan objective by the other.
Aristoteles, sebagai seorang tokoh realis,
memasukkan seluruh pencerapan inderawiah primer ke dalam jenis pengalaman yang
selalu benar, dan kesalahan tidak pernah muncul dalam penginderaan. Penglihatan
manusia, selalu valid dalam memperoleh suatu penglihatan tertentu; misalnya, penglihatan mencerap
suatu warna dari suatu objek. Pemahaman primer manusia yang melihat warna
tersebut adalah realitas yang benar-benar hadir dalam indera kita. Kesalahan
tidak mungkin menyentuhnya. Dengan kata lain ia terlepas dari kategori
benar-salah; sehingga bukan merupakan objek rasional yang perlu divalidasi oleh
subjek yang berpikir. Kesalahan “pencerapan inderawi” mulai muncul pada saat
subjek yang berpikir mulai menganalisanya; mengaitkannya dengan bahasa
tertentu, mengungkapkannya dalam proposisi tertentu.
Secara umum, sensasi dijelaskan sebagai
aktifasi organ inderawi ini oleh “bentuk-bentuk yang dapat dipersepsi”, tapi
satu bagian analisisnya yang berharga adalah perbedaan yang ia (Aristoteles)
tarik antara berbagai tipe objek-objek indrawiah dan hal yang membuatnya
memberikan apa yang membuat terjadinya kesalahan pada apa yang kita persepsi.
Pada de An. 4I8a7ff, dan di tempat lain ia membedakan antara tiga tipe obyek
inderawi. (I) Yang primer dari apa yang kita persepsi adalah warna ini atau
itu, suara ini atau itu, dan sensasi obyek-obyek “khusus” ini tidak pernah
salah (infallible), atau sebagaimana ia meletakkannya secara agak lebih aman
dalam satu kutipan (428bI9) “subyek kesalahan yang minimal”, “Maka penglihatan
adalah tentang warna, pendengaran adalah tentang suara dan perasa adalah
tentang rasa…. Tapi tiap indera memutuskan objeknya sendiri dan tidak cacat
sehubungan dengan kenyataan bahwa ada warna atau bahwa ada suara, meskipun
indera mungkin cacat tentang apa atau di mana objek yang berwarna itu atau apa
atau di mana objek yang menghasilkan suara itu” (4I8a12ff). Walaupun kita tidak bisa salah dalam
mendaftar kesan sebuah warna atau sebuah suara, kita dapat dan benar-benar
melakukan kesalahan dalam interpretasi sensasi kita, dalam mengidentifikasi,
sebagai contoh, warna putih ini sebagai merpati, atau dalam memutuskan bahwa
suara melengking tersebut adalah suara terompet.4
Keberatan kedua terhadap metode keraguan ini
adalah mengenai kemungkinan titik henti untuk meragukan segala hal yang bisa
jadi berbeda. Al-Ghazali, misalnya, meneruskan keraguannya, dan sebagaima-na
Kant, ia tidak percaya kekuatan absolut pikiran juga sebagaimana Descartes
telah menghentikan keraguannya ketika mencapai cogito ergo sum (saya berpikir
maka saya ada). Memulai dengan cara berfikir yang amat mirip dengan metode
keraguan Descartes, al-Ghazali menganggap fikiran tidak berkompeten untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan meta-fisika yang dimunculkan oleh fikiran itu
sendiri.
Al-Ghazali akhirnya memperoleh pembebasannya
dari keadaan keraguan totalnya dan skeptisisme sempurnanya tidak pada pikiran
tapi pengalaman mistik: pada cahaya yang Tuhan sebabkan memasuki hatinya.
Descartes, mulai dengan keraguan, tidak percaya indera-indera, tidak
mempercayai seluruh pengetahuan yang diperolehnya dan membuang seluruh otoritas
tradisional dan berhenti pada pemikiran, memperoleh keyakinan dalam diktum
cogito ergo sum – “Aku berpikir; maka aku ada”. Al-Ghazali juga melalui seluruh
tahap-tahap keraguan ini tapi pergi lebih jauh dan meragu-kan bahkan pemikiran
sebagai sebuah organ untuk penge-tahuan tentang realitas. Ketika Descartes
memegang bahwa pikiran berkompeten untuk menjelaskan realitas tertinggi,
al-Ghazali seba-gaimana Kant tidak percaya tentang kekua-tan absolut pikiran
juga dan menemukan bahwa pikiran tidak berkompeten
menja-wab pertanyaan-pertanyaan metafisika yang dimunculkannya.5
Apabila al-Ghazalî menghentikan keraguannya
pada pengalaman mistik, dan Descartes menghentikan keraguannya pada
keberfikiran, seseorang bisa saja menghentikan keraguannya pada hal yang lain.
Keberatan kita terhadap sikap filosofis
meragukan segala hal sebelum dipikirkan berimplikasi penerimaan kita
pengetahuan-pengetahu-an tertentu yang memperoleh validitas obyektifnya tanpa
melalui kategori benar dan salah yang dilahirkan oleh pikiran. Bagaimana
objektifitas pengalaman-pengalaman maupun pengetahuan nir-pikiran seperti itu?
Darimana mereka memperoleh nilai objektifnya? Bisakah kita menerima
kebenaran-kebenaran yang tidak mungkin salah, atau lebih tepatnya
pengalaman-pengalaman atau pengetahuan-pengetahuan yang terlepas dari kategori
dualistis benar atau salah? Dan apabila memang pertanyaan-pertanyaan tersebut
memiliki jawaban positif, apakah pengetahuan kita tentang Ada Mutlak (baca
pula; Wujud Mutlak atau Tuhan), termasuk dalam pengetahuan yang seperti ini,
atau termasuk dalam pengetahuan yang dualistis?
Swaobjektifitas
al-‘Ilm al-Hudluri
Dalam kaitannya dengan tindak mengetahui
manusia, terdapat dua objek. Pertama adalah obyek objektif, yakni objek yang
diketahui sebagaimana obyek itu sendiri dalam alam eksternal. Kedua adalah
objek subjektif, yakni objek yang diketahui sebagai objek itu yang dipahami
manusia dalam alam mentalnya.
Sebagai contoh yang sederhana: api. Panas api
yang dirasakan oleh seseorang adalah objek subyektif. Sedang api itu sendiri
adalah objek objektif. Contoh lain adalah: merpati putih. Warna putih merpati
dan bentuk merpati yang dicerap oleh seseorang adalah obyek subjektif. Sedang
merpati putih itu sendiri adalah objek objektif.
Objek subjektif disebut juga obyek imanen;
dengan makna, “sesuatu yang dekat, imanen, dan identik dengan eksistensi subjek
yang mengetahui”. Sedang objek objektif disebut juga objek transitif: dengan
makna “sesuatu yang transitif dan independen, yang eksistensinya terletak di
luar, dan bersifat eksterior terhadap eksistensi subjek.”
Lebih lanjut, ditinjau dari objeknya,
pengetahuan dapat dibagi menjadi dua. Yang pertama, adalah pengetahuan di mana
objek objektif (baca pula; transitif) dan objek subjektif (baca pula; imanen)
tidak identik. Contohnya, pengetahuan manusia bahwa, “Merpati itu putih”.
Eksistensi merpati tersebut di luar adalah suatu hal. Dan warna putih dari
merpati yang dicerap dan dipahami seseorang adalah hal yang lain. Pengetahuan
seperti ini disebut dengan pengetahuan representatif (al-‘ilm al-hushuliy
al-irtisami), karena pengetahuan tersebut bersifat representasional dan
perolehan. Yazdi menyebutnya sebagai pengetahuan dengan korespondensi dengan
alasan pengetahuan seperti ini mensya-ratkan korespondensi antara obyek
objektif dan objek subjektif. Bila korespondensi ini tidak ada maka ia disebut
“ketidaktahuan”.
Pengetahuan kedua, adalah pengetahuan dengan
kehadiran: yaitu jenis pengetahuan di mana objek objektifnya identik dengan
objek subjek-tifnya. Misalnya; pengetahuan bahwa api yang dirasakan seseorang
panas. Objek objektifnya; panasnya api yang dirasakan. Objek subjek-tifnya;
pa-nasnya api yang dirasakan. Identik. Contoh lain adalah; pengetahuan tentang
diri. Bahwa diri kita adalah diri kita dan bukan selain diri kita. Objek
objektifnya; diri kita. Objek subjektifnya; diri kita. Yang mengetahui pun;
diri kita. Pengetahuan seperti ini disebut sebagai al-‘ilm al-hudluriy.
Al-‘ilm al-hudluriy tidak memerlukan korespondensi dengan apa pun untuk
memperoleh nilai objektifnya. Hal ini adalah karena keidentikan objek objektif
dengan objek subjektifnya. Dengan kata lain apa yang dialami, disadari dan
dirasakan itu sendiri otomatis memiliki objektifitasnya sendiri. Jadi
pengetahuan dengan kehadiran memiliki sifat swaobjektif. Semua pengetahuan dengan kehadiran (al-‘ilm al-hudluriy)
tidak terikat dalam kategori dualisme benar dan salah; suatu pengkategorian
yang hanya absah untuk jenis pengetahuan dengan korespondensi (al-‘ilm al-hushuliy
al-irtisami) namun sering digenera-lisasikan secara salah bahwa pengkate-gorian
ini berlaku untuk seluruh pengetahuan manusia.
Mengenali eksistensi pengetahuan manusia dengan
kehadiran berimplikasi melepaskan diri seseorang dari penjara dualisme. Penjara
ini memaksa seseorang selalu memahami realitas dalam kotak-kotak hitam putih,
benar atau salah. Inilah yang bisa membuat seseorang bahkan bisa meragukan
objektifitas hal-hal yang mendasar seperti eksistensi dirinya sendiri. Sebuah
penjara yang mengurung kemampuan manusia berputar-putar hanya dalam penjara
pikiran rasionalnya. Sebuah penjara yang tidak memberikan tempat yang lebih
lapang bagi pengalaman-pengalaman lain yang dapat dicerap oleh jiwa maupun
intelek manusia. Mungkin bagi orang yang terpenjara seperti inilah Rumi
bersyair;
Para filosof berdiri di atas kaki kayu
Sungguh kaki kayu adalah kaki yang rapuh6
Kesadaran
Uniter Ilahiah
Kesadaran uniter Ilahiah adalah pengalaman
“kemenyatuan” atau “kesirnaan” dalam Sang Maha Realitas. Pada saat pecinta
Tuhan kehila-ngan kesadaran akan keberadaan dirinya sendiri yang relatif; pada
saat seorang pejalan mistis mencapai kesadaran akan Sang Hakikat Yang Satu;
maka tidak ada lagi aku dan Dia, Yang Ada hanyalah Dia Semata.7 Dalam
bagian ini dan bagian akhir dari makalah ini akan diuraikan mengenai pengertian
dan kemunculan kesadaran uniter Ilahiah dalam jiwa sebagai salah satu bentuk
pengetahuan dengan kehadiran.
Mungkin, adalah Muhyiddin Ibn
‘Arabi orang pertama yang telah berhasil memberikan sistematisasi filosofis
kesadaran uniter ini dalam wacana gnostik Islam. Muhyiddin Ibn ‘Arabi
menjelaskan bahwa ayat lâ tudrikuhu al-abshâru wa huwa yudriku al-abshâra
menegaskan Ketunggalan Realitas, bahwa hanya Dialah satu-satunya yang maujud
dan tiada maujud selain Dia. Dalam Kitab Al-Ajwibah, beliau menuliskan sebagai
berikut;
Lâ tudrikuhu al-abshâru
wa huwa yudriku al-abshâra, yakni, tak ada siapa pun dan tiada siapa pun yang
berpenglihatan mampu untuk memper-sepsi-Nya. Maka jika kita misalkan ada
sesuatu yang lain selain Ia dalam keberadaan, maka kita mesti membolehkan bahwa
selain di memper-sepsi-Nya (minimal dalam satu aspek/modalitas keberadaannya
yang dirasakan oleh sesuatu yang lain tersebut, penjelasan penulisan).
Tapi Tuhan (Yang Namanya
Mahatinggi) telah mengingatkan kita dalam firman-Nya “Penglihatan-penglihatan
tak menyentuh-Nya” yakni tidak ada apa pun di samping-Nya; artinya, tidak ada
yang lain yang mempersepsi-Nya (dalam seluruh modalitas keberadaannya,
penjelasan penulis) tapi Ia yang mempersepsi-Nya adalah Tuhan (Yang Namanya
Mahatinggi). Maka tak ada apa pun yang lain selain Dia. Dia lah yang
mempersepsi Hakikatnya sendiri, dan bukan yang lain. Maka
“Penglihatan-penglihatan tak mengenai-Nya”, secara sederhana adalah karena
penglihatan-penglihatan adalah bukanlah sesuatu selain Wujud-Nya sendiri. Dan
bila ada yang mengatakan “Penglihatan-penglihatan tak mengenai-Nya” karena
penglihatan-penglihatan ini bermula hudust sedangkan yang hudust tak mungkin
mempersepsi yang qidam”, ia belum mengenal dirinya sendiri, karena tidak ada
apa pun dan tidak ada penglihatan apa pun kecuali Dia. Dia, maka, mempersepsi
Wujud-Nya sendiri, tanpa keberadaan persepsi dan tanpa sifat.” 8
Kutipan berikut ini adalah
memberikan sebuah pandangan mengenai pengalaman kesadaran uniter.
Demikian Ibn ‘Arabi
menguraikan bahwa Rasulullah Saw tidak mengatakan barang siapa fana (lenyap)
dalam Tuhannya maka ia mengenal Tuhannya, namun Rasulullah Saw mengatakan
barang siapa mengenal dirinya maka ia mengenal Tuhannya (man ‘arafa nafsahu
faqad ‘arafa rabbahu). Yakni, barangsiapa mengenal bahwa “dirinya” adalah
“ketiadaan” dan hanya Tuhan Yang Ada dan Tiada Selain Dia, maka ia (baca pula
“Ia”) telah mengenal Tuhannya.
Yakni, barangsiapa yang
mengenal Ketunggalan Realitas yang menampakkan dirinya dalam alam maha-jamak
ini, dan tidak melihat adanya sesuatu selain Dia Yang Tunggal dan Meliputi
Segala Sesuatu yang tak lain adalah Diri-Nya Sendiri, maka ia (baca pula; “
Ia”) telah mengenal Tuhan-Nya.
Maka orang yang percaya
adanya penyatuan wujud ma-nusia dan wujud Tuhan adalah puncak kesempurnaan
perjalanan ruhani ada dalam kesesatan yang nyata, karena ia telah menyeru-pakan
Tuhan dalam hal yang paling hakiki dengan manusia, tak lain adalah keberadaan
atau wujudnya. Argumentasi lain adalah, bagaimana mungkin menyatukan yang tiada
dengan yang Ada?
Mengenai orang-orang
yang telah mencapai keadaan jiwa ilahiyyah seperti ini, yang telah lenyap dalam
samudera Ketunggalan Keberadaan Tuhan seperti ini, mungkin inilah yang
diibaratkan oleh Maulana, Amirul Mukminin ‘Alî bin Abi Thâlib as dalam pesannya
kepada Kumayl Ibn Ziyad ra tentang sifat-sifat jiwa (nafs) yang al-kulliyyah
al-ilâhiyyah (komprehensif ke-ilahian); …” ….dan bagi jiwa yang seperti ini
terdapat dua sifat khas; ridho (terhadap qodha dan qodar Allah) dan taslim
(berserah diri kepada Allah), dan hal ini sumbernya adalah dari Allah dan
kepada-Nya akan kembali, sebagaimana Firman-Nya Ta’ala; dan Kami tiupkan ke
dalam-nya dari ruh Kami (wa nafakhnâ fîhi min rûhina)….” Dalam riwayat
ini, Imam ‘Alî menegaskan bahwa sumber-sumber keadaan jiwa yang ilahi adalah Allah
itu sendiri, dengan merujuk kepada “Dan Kami tiupkan ke dalamnya dari ruh Kami”
Subhânallâh.9
Kesadaran uniter merupakan suatu kesadaran
spontan dalam jiwa manusia yang memahami bahwa eksistensi relatifnya terkait
dengan suatu Totalitas Realitas Yang Tunggal yang tak terkira dan tak terbatasi
oleh apa pun. Kesadaran uniter ini ada dalam jiwa manusia secara hudluri
mendahului seluruh pengetahuan manusia yang lain, dan kesadaran ini merupakan
basis bagi seluruh totalitas pengetahuan manusia.
Sebuah pertanyaan yang menarik yang layak untuk
dikaji lebih lanjut; bagaimana kesadaran uniter ini muncul dalam jiwa manusia.
Yazdi telah menjelaskannya panjang lebar dalam tesis Ph.D nya, Knowledge by
Presence berdasarkan teori emanasi. Uraian mengenai teori Yazdi ini akan
diberikan secara ringkas dalam bagian berikutnya. Namun, kami ingin memberikan
eksposisi sederhana untuk menjawab pertanyaan di atas dari sudut pandang yang
agak berbeda. Kesederhanaan menjadi pertimbangan utama kami untuk mengungkapkan
penjelasan ini.
Pertama, adalah eksposisi berdasarkan pandangan
yang Sabzava-rian tentang Ada. Bahwa Ada bersifat ambigu, di satu sisi ia
Tunggal untuk semua hal. Di sisi lain, ditinjau dari intensitasnya ia tidak
tunggal (jamak). Jadi, Ada — lengkap dengan Aspek Kesadaran Intelek-Nya,
senantiasa ada dalam intensitas tertentu dalam semua yang ada. Akibatnya, semua
yang ada sebenarnya berkesadaran dalam intensitas tertentu dan hidup dalam
intensitas tertentu. Dengan cara inilah kesadaran uniter tentang Ada muncul dalam
segenap eksistensi manusia.
Kedua, adalah penjelasan berdasar azas kausalitas. Dengan mema-hami kesemasaan
sebab dan akibat, dan bahwa Sebab Pertama benar- benar menjadi sebab segala hal
setiap saat dan waktu di segala ruang dan waktu; maka Sebab Pertama juga
menyertai eksistensi seseorang setiap saat setiap waktu. Perlu dicatat di sini
dari keniscayaan akibat bagi sebuah sebab, bahwa hubungan kesertaan Sebab
Pertama dengan eksistensi seseorang adalah niscaya. Maka dengan melihat bahwa
eksistensi manusia akan sirna seketika tanpa menerima eksistensiasi secara
terus menerus dari Sebab Pertama melalui sebab-sebab antara, maka nampak bahwa
eksistensi relatif manusia adalah merupakan suatu bentuk kehadiran aktifitas
eksistensiasi Sebab Pertama.
Dari kedua eksposisi di atas, terdapat satu
karakteristik kesadaran uniter tentang Tuhan, yakni pengetahuan dengan
kehadiran tentang Ada Mutlak ini yang berbeda dengan pengetahuan dengan
kehadiran yang lain. Pengetahuan dengan kehadiran manusia tentang hal-hal yang inderawiah
misalnya muncul dari aspek inderawi jiwa manusia. Misalnya sebuah warna hadir
pada kemampuan penglihatan jiwa manusia. Pengetahuan dengan kehadiran manusia
tentang dirinya muncul dari aspek identitas jiwa manusia. Kesadaran bahwa aku
adalah aku muncul dari kesangatakuan jiwa manusia. Namun pengetahuan uniter
tentang Ada Mutlak ini meliputi seluruh aspek eksistensial jiwa, dan meliputi
seluruh aspek kesadaran jiwa; dan oleh karena itu meliputi seluruh pengetahuan
manusia.
Kedua eksposisi yang telah diberikan
menempatkan kesadaran uniter tentang
Tuhan dalam jiwa manusia sebagai satu aspek kesaling-kelindanan semesta
eksistensi; atau lebih spesifik lagi, keduanya menempatkan kesadaran uniter
tentang Tuhan dalam jiwa manusia sebagai aspek niscaya Kemahahadiran Yang
Mutlak dalam segala sesuatu.
Tuhan yang beremanasi di dalam diri = diri yang diserap di
dalam Tuhan; pengetahuan uniter dalam pandangan teori Emanasi.
Bagaimana yang jamak muncul dari Yang Tunggal
merupakan sebuath teka-teki filosofis yang menarik. Teori emanasi (al-ibda’)
menja-wabnya sebagai berikut; dari Yang Tunggal, yakni Wujud Wajib Yang Ada
dengan Diri-Nya Sendiri, muncullah suatu wujud yang sepenuhnya tergantung
kepada Wujud Wajib. Kemudian:
Melalui
perantaraan substansi emanatif ini Prinsip Pertama (sekali lagi) mencerahkan
substansi intelektual lain bersama sebuah benda langit.
Dengan
(cara hierarkis) ini terlahirlah substansi intelektual lain dari substansi
intelektual ini dan muncullah benda langit yang lain.
Hal
ini terus berlangsung hingga substansi intelektual (yang terakhir) yang tidak
lagi melahirkan suatu benda langit.10
Beberapa catatan penting tentang teori emanasi;
pertama, proses emanasi dari Yang Wajib adalah suatu tindakan nir-waktu (tidak
terikat waktu), ia tidak bisa dikatakan terjadi pada zaman dahulu, tidak juga
pada masa yang akan datang; namun ia tidak terikat ruang dan waktu apa pun.
Kedua, tidak ada diskontinuitas wujud dari Wujud Wajib hingga seluruh wujud di
alam jamak. Pancaran emanasi melimpah terus menerus di segala ruang dan waktu,
yang dengannya seluruh wujud kontingen memperoleh keberadaannya. Menyifati
semesta sebagai sinar-sinar dan bayangan-bayangan dari Yang Tunggal, Mulla
Sadra menguraikan;
Semua eksistensi yang mengambil “kemungkinan”
sebagai modalitas logis mereka, dan semua realitas yang terkait, dan tergolong,
kepada yang lain, mesti dipandang sebagai I’tibarat dan sifat-sifat yang
berbeda dari eksistensi Wujud Wajib. Mereka adalah sinar-sinar dan bayangan-
bayangan dari Cahaya Swa Substantif. Bayangan-bayangan ini, ditinjau dari sudut
pandang individuasinya (huwiyyah), sama sekali tidak independen. Bahkan
mustahil untuk membayangkan mereka sebagai entitas-entitas independen dan tak
tergantung…, satu-satunya kebenaran yang bisa dibayangkan tentang realitas
mereka adalah dengan menggambarkan mereka sebagai “ketergantungan murni”
terhadap Yang Lain, bahkan bukan sesuatu yang bergantung pada Yang Lain.
Dipahami secara demikian, mereka tak memiliki realitas dalam diri mereka
sendiri yang bisa dibayangkan oleh kemampuan intelektual kita selain semata-
mata sebagai penundukan dan subordinasi dari satu Realitas. Dari sini, jelas
bahwa tidak ada sesuatu pun di dunia realitas selain Realitas tunggal. Tiada
sesuatu selain ini kecuali sebagai manifestasi, pameran, perspektif, cara
spesifik, berkas sinar, bayangan kecemerlangan, dan penampakan dari kehebatan yang
tak terbatas dari Realitas Tunggal ini.11
Maka, semesta atau kosmos dalam pandangan teori
emanasi tidak memiliki realitas sama sekali, melainkan Realitas Yang Tunggal
Itu Sendiri. Kejamakan kosmos berasal dari perspektif yang berbeda,
sebagai-mana kejamakan sinar-sinar dan cahaya-cahaya yang terpancar dari
sumbernya.
Dari teori emanasi ini, paham manunggaling
kawula-Gusti, penyatu-an makhluq dengan Khaliqnya dalam pengertian
swaidentitas, menjadi gugur. Penjelasannya adalah sebagai berikut. Realitas
wujud-wujud konti-ngen dalam emanasi adalah realitas preposisional. Tidak
pernah mempunyai substansi yang benar-benar layak untuk diperlakukan sebagai
kata benda. Hal ini tampak dalam tulisan Mulla Shadra di atas “satu-satunya
kebenaran yang bisa dibayangkan tentang realitas mereka adalah dengan
menggam-barkan mereka sebagai ‘ketergantungan murni’ terhadap Yang Lain,
bah-kan bukan sesuatu yang bergantung pada Yang Lain”. Ini tampaknya mirip
dengan pandangan Rene Descartes bahwa satu-satunya Substansi yang benar-benar
dapat disebut Substansi adalah Tuhan itu sendiri, dan bukan-lah selain itu.12 Walaupun
perlu dicatat bahwa dalam falsafah wujud Mulla Hadi Sabzawari (penerus mazhab
Mulla Shadra) Wujud Wajib bukanlah termasuk dalam substansi dan bukan pula aksiden.13 Jelas
bahwa selama-nya satu tidak pernah dapat diidentikkan dengan nol, seperti itu
pula hal yang sifatnya preposisional tidak pernah dapat diidentikkan dengan Hal
Yang Benar-Benar Memiliki Realitas.
Penyatuan seperti apa yang dimungkinkan oleh teori
emanasi? Bahwa setiap saat Tuhan selalu hadir dalam diri manusia melalui
emanasi, pula diri manusia selalu hadir dalam Tuhan melalui penyerapan.
Persatuan dalam kehadiran; tanpa melewati penyatuan substansi dengan substansi,
tidak pula melibatkan keidentikan Seluruh Realitas-Nya dengan realitas hamba.
Pada saat ilusi-ilusi sebagai akibat dari keakraban diri manusia dengan
kejamakan disingkirkan, maka muncullah Realitas Kehadiran- Nya secara lebih
jelas dalam jiwa manusia. Dan ini adalah peningkatan intensitas kesadaran
uniter seseorang tentang Kesempurnaan Ultima yang meliputi segenap eksistensi
dirinya. Ibn ‘Arabi telah menyifati penying-kapan seperti ini sebagai “bahwa
engkau adalah bukan engkau: engkau adalah Dia, tanpa engkau; bukan Ia memasuki
engkau, atau engkau masuk ke dalam-Nya,… Dan tidaklah berarti dengannya bahwa
engkau sesuatu yang ada atau pula sifat-sifatmu yang ada, namun ini berarti
bahwa engkau tidak pernah ada tidak pula akan ada, apakah dengan dirimu sendiri
atau melalui-Nya atau di dalam-Nya atau bersama-Nya”
Kesimpulan
Pengetahuan tentang Allah tidak seluruhnya
termasuk dalam pengetahuan representasional (al-‘ilm al-hushuliy
al-irtisamiy). Pengetahuan representasional selalu tunduk pada dualisme benar
dan salah; dan tidak akan pernah akan berubah menjadi pengetahuan yang benar
dengan dirinya sendiri. Keyakinan kepada Wujud Mutlak sebagai sumber seluruh
pengetahuan dan amal seorang mukmin akan menjadi rentan dan tidak kokoh apabila
dilandaskan kepada pengetahuan representasional. Keyakinan yang seperti ini
juga akan menjadi keyakinan yang repre-sentasional, bukan keyakinan yang hadir
dalam kesangatwujudan dari jiwa manusia itu sendiri. Keyakinan yang
representasional harus memveri-fikasikan diri terus menerus kepada pikiran
rasional manusia. Karakteristik pikiran manusia pada umumnya tidak stabil. Ia
sangat dipengaruhi feno-mena-fenomena yang terjadi secara emosional. Karena
itulah mungkin ungkapan Maulana Rumi berikut dapat secara lebih tajam
menggambar-kan rapuhnya keyakinan kepada Wujud Mutlak yang rasional dan
representasional.
Para filosof berdiri di atas kaki kayu
Sungguh
kaki kayu adalah kaki yang rapuh14
Pada sisi terdalamnya, pengetahuan tentang
Wujud Tuhan bukan termasuk pengetahuan representasional, namun adalah termasuk
pengetahuan dengan kehadiran (al-‘ilm al-hudhluriy). Pengetahuan seperti
ini memiliki nilai objektifnya dengan dirinya sendiri, dan terlepas dari
kategori dualistis benar dan salah. Keyakinan kepada Allah, apabila dilandaskan
jenis pengetahuan seperti ini, akan memiliki objektifitas dengan keyakinan itu
sendiri tanpa memerlukan verifikasi selain keya-kinan itu sendiri. Jenis
keyakinan seperti ini akan memiliki tingkat kestabilan dan ketetapan lebih
tinggi daripada keyakinan yang dibangun di atas kerangka pengetahuan
representasional. Keyakinan ini muncul dan hadir dalam jiwa manusia secara
fitri (innate) dalam bentuk suatu tingkat kesadaran uniter Ilahiah tertentu.
Kesadaran uniter Ilahiah merupakan suatu
kesadaran kemanung-galan Totalitas Wujud, dan tiada Wujud hakiki kecuali Yang
Esa. Realisasi lebih lanjut manusia, melewati amal-amalnya, dapat memperkuat
intensitas kesadaran uniter Ilahiah ini atau memperlemahnya, tergantung arah
yang ia tuju. Kemunculan kesadaran uniter Ilahiah ini dalam jiwa manusia dijelaskan
dalam makalah ini melalui tiga teori. Pertama, adalah gradualitas wujud
(tasykik al-wujûd) Shadraian atau Sabzawarian; kedua, hukum kausalitas; ketiga,
teori emanasi. Penjelasan yang ketiga diambil dari tesis Mehdi Hairi Yazdi,
“Knowledge by Presence”.
Dari penjelasan teori emanasi mengenai
kehadiran Yang Satu secara emanatif kepada yang jamak, ajaran wujudiyah yang
menyimpang yang membayangkan “penyatuan substansial antara makhluq dan
Khaliqnya” menjadi gugur. Selamanya makhluq tetap makhluq dan Khaliq tetap
Khaliq. Yang jamak tidak pernah menjadi Yang Satu. Yang Satu tidak pernah
menjadi yang jamak. Hanya dalam kesadaran uniter Ilahiah, intensitas kehadiran
Yang Satu dalam jiwa manusia bisa meningkat sebanding dengan kemampuan manusia
mentransendensikan dirinya (baca pula; memisahkan dirinya) menembus hijab-hijab
kejamakan. Realisasi terus menerus kesadaran uniter Ilahiah akan menambah
intensitas kesadaran uniter Ilahiah itu sendiri. Yang Satu tidak pernah bisa
memanifestasikan diri, kecuali dengan emanasi melalui yang jamak. Yang jamak
tidak pernah bisa berdiri sendiri sekejap pun, kecuali dengan menyerap limpahan
eksistensial Yang Satu melewati hierarkhi emanasi yang lebih tinggi. Realisasi
terus menerus meningkatkan derajat jiwa manusia sehingga mampu menyerap
anugerah Ilahiah yang lebih tinggi intensitasnya dan lebih dekat dari
Hadirat-Nya.
Bagaimana hubungan kesadaran uniter
Ilahiah ini dengan keimanan merupakan masalah lebih lanjut yang perlu diteliti.
Ayatullah Murtadha Muthahhari menjelaskan bahwa iman bukan sekedar akar atau
fundamen yang diperlukan untuk mendirikan bangunan amal seorang manusia, namun
keimanan juga merupakan tujuan dan memiliki ashalah (primacy/keprimeran). “Pada
sisi ini kebenaran berada di pihak para filosof yang meyakini bahwa iman
mempunyai ashalah. Nilai iman bukanlah seka-dar nilai muqadimmati (preface) bagi amal-amal serta
aktifitas-aktifitas yang dianjurkan. Jika iman kita cabut dari amal, sama saja
dengan merusak sebuah pondasi, demikian pula jika kita membuang amal dari iman”15 Kesadaran uniter
Ilahiah pun apabila tidak didukung oleh realisasi terus menerus akan berkurang
intensitasnya terus menerus. Mungkin ini bisa menjadi wacana awal penelitian
selanjutnya mengenai kaitan kesadaran uniter Ilahiah ini dengan keimanan.[]