Advertisemen
PERTENGKARAN keluarga dalam kubu humanisme terus berdengung
sampai sekarang. Pertengkaran antara kubu pembela nalar di satu sisi dan kubu
pembela naluri di sisi lain. Antara yang Cartesian dan yang Nietzschean. Para
Cartesian menuduh pembela naluri merendahkan manusia. "Cogito ergo
sum!" jerit mereka. Kodrat manusia terpusat pada nalar, bukan nalurinya.
Naluri dilempar dari kemanusiaan karena mempersandingkan manusia dengan hewan.
Bersembunyi di balik Cogito, manusia berada di puncak hierarki gradasi wujud.
Nalar mengandaikan semesta yang hadir dan bisa dimengerti.
Bersembunyi di baliknya adalah iman akan ketersambungan antara pikiran dan
kenyataan. Naluri, di lain pihak, memiliki modus berpikirnya sendiri.
Dengannya, manusia melampaui yang hewani dan manusiawi sekaligus. Naluri untuk
penguasaan Nietzsche, misalnya, mengenyahkan logos yang membentang di luar,
namun diam-diam menariknya ke dalam.
Dua tradisi yang berseteru seolah-olah berdiri berseberangan.
Namun, sesungguhnya mereka berbagi iman yang sama secara epistemo-ontologis.
Semesta ini asing. Dan, transenden ini hanya bisa disingkap apabila ontologi
manusia ditelanjangi bulat-bulat. Descartes mengerti manusia sebagai substansi
yang berpikir, sedangkan Nietzsche memahami manusia sebagai naluri untuk
penguasaan. Bertolak dari itulah semesta ditarik dari persembunyiannya. Kodrat
manusia adalah kunci utama pembuka pintu rahasia semesta raya.
Apabila yang transenden menjadi titik tolak tradisi teori pengetahuan
dalam filsafat, tidak demikian halnya dengan puisi. Bagi puisi, kenyataan
selalu sudah menampilkan dirinya dalam bahasa. Kenyataan adalah semata-mata
soal modus pengucapan. Maka, tinimbang mencari ketelanjangan sebuah rahasia,
puisi mengerahkan tenaganya untuk menelusuri modus pengucapan baru. Alternatif
yang dikejar adalah modus pengucapan representasional bahasa sains dan
filsafat, sebuah modus pengucapan yang mengandaikan keterwakilan semiotis
realitas dalam bahasa.
Puisi tidak melentingkan kita ke tanah tak berjejak. Ia tak
berpeluh-peluh mengejar kebenaran sejati. Ia tidak melakukan penyingkapan apa
pun. Yang ia kejar semata-mata kosakata baru realitas. Muara perbincangan ini
adalah filsafat yang membujur kaku. Refleksi atas puisi adalah akhir hayat
filsafat. Para filsuf terkaget-kaget saat mendapati bangkai epistemologis yang
disisakan puisi, seperti saat Nietzsche menemukan "yang tak berasal"
setelah merefleksikan puisi-puisi klasik Yunani. Atau Heidegger yang
menghentikan proyek ontologi fundamentalnya setelah membaca puisi-puisi
Holderlin. Pembelokan sastra, literary turn, sedang menggayuti jagat pemikiran
kontemporer. Nalar yang notabene merupakan peranti rohani utama filsafat dalam
membuka segel epistemologis sedang mencapai titik nadirnya. Saya membaca gejala
ini sebagai gejala metamorfosis nalar menuju bentuknya yang puitis.
Metafilsafat
Collin McGinn, salah satu filsuf Amerika kontemporer,
melontarkan gagasan tentang apa yang disebutnya sebagai metafilsafat. Sebuah
penyelidikan filosofis tentang apa sesungguhnya kodrat dari persoalan filsafat,
kemungkinan pengetahuan filosofis dan metode yang diadopsi demi kemajuan
filsafat. Sebuah filsafat tentang filsafat. Menurut McGinn, ada dua tradisi
besar metafilsafat yang saling bertolak belakang. Pertama adalah tradisi
Platonian. Tradisi ini berkeras bahwa persoalan filsafat adalah persoalan
esoteris. Filsafat adalah disiplin yang memacu nalar manusia menggapai
"yang esoteris". Tradisi kedua adalah Wittgensteinian. Bertolak
belakang dengan Plato, Wittgenstein menolak apa yang disebut sebagai persoalan
esoteris filsafat. Persoalan filsafat sesungguhnya adalah persoalan bahasa.
Pertanyaan filosofis menjadi semu dan tak bermakna akibat penyalahgunaan
bahasa. Dengan kata lain, persoalan filsafat sesungguhnya adalah soal
penyembuhan bahasa.
Tulisan saya, Tanah Tak Berjejak Para Penyair
("Bentara", Kompas, 2 Mei 2003), berusaha mendamaikan dua tradisi
metafilsafat tersebut dengan mengajukan hipotesis nalar puitis. Nalar puitis
tidak berkonsentrasi pada persoalan yang absolut-esoteris, namun tidak juga
mengalah pada jerat kebahasaan belaka. Nalar puitis adalah nalar yang selalu
peka terhadap yang transenden berdasarkan postulatnya akan kodrat semiotis
kenyataan. Selalu ada yang bergentayangan di luar modus pengucapan yang
dominan. Itulah yang dikejar oleh nalar puitis. Oleh karena itu, modus bernalar
biasa harus ditinggalkan. Modus bernalar yang mencari kodrat harus digeser oleh
modus bernalar yang mencari modus pengucapan baru. Konsentrasinya bukan pada jawaban
positif, tetapi pada pertanyaan-pertanyaan asali guna menemukan modus
pengucapan baru.
Heidegger meletakkan fondasi awal bagi metafilsafat nalar
puitis. Bernalar bagi Heidegger adalah keunggulan filsafat. Karenanya, filsafat
harus memiliki modus bernalar yang melebihi ilmu-ilmu positif, yakni modus yang
tidak berkonsentrasi pada jawaban positif melainkan, seperti diisyaratkan
Russel, melulu prihatin pada pelebaran ruang imajinasi nalar kita sendiri.
Pelebaran yang sesekali harus melontarkan pertanyaan pada pertanyaan filosofis
itu sendiri. Ini yang dilakukan Heidegger saat mengajukan pertanyaan terhadap
seluruh pertanyaan filsafat, mulai dari Yunani klasik sampai modern. Bagi
Heidegger, semua pertanyaan itu harus dipertanyakan ulang karena tidak bertanya
tentang Ada yang sesungguhnya, yaitu Ada yang menopang segala adaan. Para
filsuf terlalu asyik bertanya sehingga melupakan perbedaan kentara antara Ada
dan ada.
Pertanyaan-pertanyaan filsafat yang berlontaran dalam sejarah
tak mampu menampung transendensi sang Ada. Kelumpuhan ini, menurut Heidegger,
disebabkan oleh filsafat yang masih berkutat dengan nalar epistemologis, nalar
yang mengejar keakuratan representasi antara benak dan kenyataan, nalar yang
mewakili bukan menyingkap. Sejarah filsafat adalah sejarah nalar epistemologis.
Mulai dari filsuf Milesian yang coba menalar kodrat semesta sesungguhnya,
sampai Descartes yang menelanjangi kodrat kognitif manusia sebagai dasar
pengetahuannya tentang dunia. Bahkan, Nietzsche yang dituduh pelbagai pihak antinalar
sesungguhnya masih terjebak dalam sejarah nalar epistemologis saat menelanjangi
kodrat manusia sebagai naluri untuk penguasaan.
Saat nalar kehilangan kepekaannya pada yang transenden,
kidung bait-bait puisi dalam tubuhnya pun lamat-lamat menghilang. Kondisi ini
diperparah lewat lahirnya sains pada abad ke-17 sebagai wujud sempurna filsafat
alam. Sains membekukan geliat nalar pada pandangan dunia mekanisme yang telah
menghilangkan dunia dari kemisteriusan. Pengeringan dunia dari yang asing ini
membuat nalar kehilangan kemampuannya membawa kita ke tanah tak berjejak. Nalar
pun sekadar kalkulasi, bukan eksplorasi. Ini yang dimaksud Heidegger saat
mengejek fisika sebagai semata-mata kalkulasi, bukan pemikiran.
Kematian nalar puitis adalah saat nalar terjebak pada fungsi
metodologisnya. Nalar yang melulu bersibuk dengan langkah-langkah menemukan
kebenaran, bukan menciptakan. Metode dalam menentukan yang benar maupun yang
baik. Padahal, seperti dikemukakan Whitehead, spekulasi nalar tidak terjerat
oleh metode. Ia mentransendenkan semua metode. Nalar adalah naluri dasar
manusia yang senantiasa merindu pada yang tak terbatas. Ini yang membuat sebuah
kemajuan dimungkinkan.
Naluri kerinduan nalar pada yang transenden redup saat nalar
difungsikan semata-mata secara komunitarian. Saat nalar terkurung oleh
kategori-kategori kultural, jelajah nalar puitis pun mandek secara historis. Ia
menjadi ansilla historica, hamba sejarah. Sebuah kesia-siaan yang tak perlu.
Kesia-siaan yang dituduhkan para pembela nalar kepada para neosofis yang
antikebenaran tunggal. Nalar identik dengan universalisme, kata mereka.
Pertanyaannya kemudian adalah apakah pilihan antara relativisme dan
universalisme adalah sebuah pilihan dikotomis.
Saya menyodorkan hipotesis nalar puitis sebagai muara metamorfosis
nalar manusia setelah pengejaran terhadap yang transenden dihentikan. Hipotesis
yang ternyata banyak mendapat reaksi keras pelbagai pihak. Sebagian
menafsirkannya sebagai maklumat hukuman mati bagi nalar. Tuduhan yang berpijak
pada sangkaan pengulangan gagasan aleitheia Heidegger dalam hipotesis saya.
Tuduhan-tuduhan itu cukup berdasar. Hanya serangan terakhir yang terdengar
menggelikan. Saya dituduh memutlakkan jalan puisi. Sungguhkah demikian?
Jelas tergurat bahwa nalar puitis bukan puisi. Puisi bagi
saya sekadar metafora bagi kemampuan nalar membuka modus-modus pengucapan baru
tentang jagat raya. Kemampuan yang lenyap saat ilmu pengetahuan, filsafat, dan
teologi mengejar kebenaran bukan kelainan. Pengejaran yang sadar atau tidak
disadari menggendong sebuah pandangan dunia tertentu. Fisika, misalnya, dicela
Heidegger sebagai semata-mata kalkulasi bukan pemikiran. Mengapa? Karena fisika
tak bisa melepaskan diri dari pandangan dunia mekanistik. Ia hanya berfokus
menghitung-hitung gerak-gerik semesta tanpa menghasilkan sebuah modus
pengucapan alternatif.
Nalar puitis juga bukan sekadar keisengan yang antinalar.
Nalar puitis adalah nalar yang selalu terjaga pada "kelainan".
"Kelainan" berbeda dengan yang transenden. Transendensi adalah modus
epistemologis, sementara "kelainan" adalah modus puitis. Di mana
letak perbedaannya? Modus epistemologis bekerja dengan kategori benar-salah.
Tanah berjejak yang ditinggalkan adalah sesuatu yang kadar epistemologisnya
lebih rendah ketimbang dataran kognitif baru yang dituju. Sementara
"kelainan", sebaliknya, tidak berurusan dengan kategori benar-salah.
Ia semata-mata sebuah kemungkinan baru dalam berbincang-bincang tentang
semesta. Semesta selalu sudah menampilkan dirinya secara kebahasaan. Yang
dikejar oleh nalar puitis, bukan kebenaran baru, melainkan sebuah kosakata baru
tanpa klaim epistemologis apa pun.
Selanjutnya, apakah nalar puitis sekadar pengulangan hipotesa
"aleitheia" Martin Heidegger? Saat Heidegger menjelaskan panjang
lebar tentang bahasa sebagai rumah Ada, ia sesungguhnya sudah bersentuhan
dengan apa yang saya maksud. Namun, ketika itu semua diletakkan dalam proyek
pencarian Ada, maka ia terjebak dalam epistemologi. Berpikir seharusnya bukan
mencari Ada, melainkan membangun rumah-rumah Ada yang baru. Aroma epistemologis
semakin jelas tercium saat Heidegger berbicara tentang Dasein otentik yang
mengambil jarak dari "ke-mereka-an" (Dasman). Pengambilan jarak
Dasein, yakni being in the world, adalah sebuah momen kebenaran setelah ia
tenggelam dalam kepalsuan publik. Ini semua menjadi kesulitan pokok Heidegger
dari kacamata nalar puitis.
Matinya epistemologi
Kapan manusia berhenti bertanya? Nalar puitis berhenti
bersuara saat pertanyaan menjelma pengalaman yang pada gilirannya menukik pada
pengetahuan. Sejarah adalah hasil sedimentasi pengetahuan yang bercikal bakal
pada lontaran pertanyaan nalar puitis. Sedimentasi yang menebal itulah yang
membuat kita tidak lagi bertanya. Kalaupun bertanya, maka pertanyaan itu
sekadar pertanyaan komunitaris. Pertanyaan yang sudah diarahkan jawabannya oleh
kesepakatan epistemik satu komunitas. Ia tak bisa menembus belenggu
epistemologi yang dirajutnya sendiri. Kita sedang hidup di masa yang melupakan
apakah.
Benarkah demikian? Nietzsche dalam bukunya, Beyond Good and
Evil, mempersoalkan klaim universalitas yang baik dan yang jahat. Yang baik dan
yang jahat, menurut Nietzsche, adalah bentukan sejarah orang-orang yang kalah
secara moral. Ia adalah sebentuk fiksi etis-komunitarian yang diuniversalkan.
Persoalan ini sepintas persoalan aksiologis (nilai). Namun, sesungguhnya ia
adalah persoalan epistemologis (pengetahuan). Bahwa pengetahuan kita tentang
yang baik dan yang buruk adalah buatan tangan sejarah. Konsekuensinya adalah
itu bukan pilihan satu-satunya. Kita bisa merajut fiksi baru untuk
mendongkelnya.
Berakar dari proyek-proyek genealoginya, Nietzsche pun
dituduh sebagai pendaur ulang klaim-klaim relativisme kaum sofis, gagasan yang
mendapatkan pembenaran dari hampir semua komentatornya. Saya sendiri akan
bertanya, apakah Nietzsche sedang mempraktikkan nalar komunitaris yang tak
berpuisi? Atau, sungguhkah Nietzsche bisa dijebloskan masuk pada barisan
antitransenden? Padahal, kalau membuka halaman demi halaman buku-bukunya, kita
menemukan jarum-jarum aforisme yang tajam menghunjam indra. Buku-bukunya adalah
puisi panjang tentang kealpaan yang disahkan sejarah.
Nietzsche, sebaliknya, justru menjalankan nalar puitis guna
mencari gramatika epistemologi moral baru. Nietzsche membebaskan moral dari
ikatan nalar konvensional. Ikatan yang membuat moral seolah-olah bersimpuh pada
satu metode. Pengetahuan moral yang sudah tersedimentasi sejak lama itulah yang
kemudian diruntuhkan Nietzsche. Ketika orang sudah tak lagi bertanya tentang
legitimasi sebuah pengetahuan moral, Nietzsche dengan lincah memainkan nalar
puitis menembus yang benar dan salah. Menjejakkan kaki kognitif di tanah tak
berjejak. Melampaui relativisme. Itulah pagelaran nalar puitis yang
dipertontonkan Nietzsche. Nalar puitis Nietzsche jauh melompati sedimentasi
sejarah. Bergerak liar mencari kemungkinan-kemungkinan baru. Dan, semuanya itu
hanya mungkin karena dorongan naluri akan yang lain.
Naluri akan yang lain. Suara purba itu sirna oleh tumpukan
pengalaman yang menyejarah. Tumpukan yang berakar dari kecemasan akan ribuan
tanda tanya yang menyelimuti semesta. Ribuan tanda tanya yang harus dipastikan
supaya manusia hidup tanpa kejutan dan entakkan. Semua tanda tanya harus
dipastikan. Kalau tidak, manusia hidup dalam api kekalutan yang tak kunjung
padam. Kondisi yang tentu saja tak mengenakkan. Manusia lebih suka hidup
dalam-menyitir Giddens-kesadaran praktis. Kesadaran bertindak dalam mana
manusia tak harus berpikir keras untuknya. Sebuah kesadaran dalam lingkup
komunitarian yang pekat.
Semua tanda tanya harus dipastikan. Satu saja lolos, tertib
kosmis akan mengalami gangguan. Alam yang ternalar sempurna tidak boleh
menyisakan ganjalan epistemologis yang mengganggu. Manusia butuh kepastian.
Seperti jejaka yang menunggu jawaban pinangannya dari sang dara. Keliaran nalar
pun harus dihentikan. Nalar harus bekerja tertib karena alam pun sesuatu yang
tertib. Tertib alam harus terpantul sempurna dalam kinerja nalar. Yang nyata
adalah rasional dan yang rasional adalah nyata, menurut Hegel. Alam bekerja
berdasarkan satu gramatika. Dan, gramatika itu hanya bisa disibak oleh nalar
yang patuh.
Jatuhnya nalar pada kesatuan gramatika membuat naluri akan
yang lain lumpuh. Keberanian nalar dalam menjelajah pelbagai kemungkinan
pengucapan pun dilibas oleh kecemasan epistemologis yang berlebihan. Padahal,
justru relativisme lahir dari rahim kecemasan sedemikian. Kecemasan untuk
mengarungi ruang hampa di luar lingkungan komunitarisnya, yaitu lingkungan yang
memberlakukan satu aturan bagi kebenaran, kebaikan, dan keindahan.
Karl Raimund Popper, filsuf sains termasyhur, menolak bentuk
komunitarianisme macam itu. Ia menyerang relativisme paradigma yang digagas
rekannya, Thomas Kuhn. Bagi Popper, Kuhn menjebak nalar pada kubah-kubah
komunitas ilmiah yang memacetkan daya transendensinya. Daya transendensi nalar,
menurut Popper, adalah saat nalar induksi digantikan oleh nalar falsifikasi. Ia
mencibir metode induksi yang dibakukan positivisme sebagai pembeda sains dan
nirsains. Pengumpulan fakta-fakta guna membenarkan sebuah teori cacat dari
kacamata logika. Sebuah teori secara logika dapat diruntuhkan hanya dengan satu
fakta yang bertolak belakang.
Lahirlah nalar falsifikasi menggeser segala dogma, ideologi,
atau ilusi karena ia terbuka bagi falsifikasi. Nalar falsifikasi membuat kita
tidak lagi bicara kepastian, melainkan kehampiran. Kebenaran tidak bisa
dipastikan. Ia hanya bisa dihampiri lewat uji falsifikasi terus-menerus. Teori
yang paling tahan uji adalah teori yang paling dekat menghampiri kebenaran.
Puitiskah nalar falsifikasi Popper? Sungguh tak dapat
dimungkiri. Berkat falsifikasi, sains pun terlepas dari jerat konservatisme dan
bergandengan erat dengan kemajuan. Namun, kemajuan yang dihasilkan bersifat
linier dan monistik. Kelincahan nalar seperti yang dipertontonkan Nietzsche
tidak tampak. Kesatuan gramatika pengujian kebenaran masih menggayuti nalar
falsifikasi Popper. Pandangan dunia sains pun masih mengeram pada lantai paling
bawah pemikirannya. Paul Feyerabend, seorang anti-Popperian, menggugat
linieritas nalar falsifikasi Popper. Baginya, mengapa tak kita biarkan nalar
bekerja dalam gramatikanya sendiri-sendiri. Kesatuan metode harus memberi jalan
pada pluralisme. Ia mengajak kita untuk sadar bahwa nalar adalah majemuk. Ia
tidak tunggal, namun seperti digagas Wittgenstein, harus dikembalikan pada
permainan bahasa masing-masing komunitas.
Kelompok penolak universalisme nalar berpegangan pada premis
bahwa pengetahuan adalah konstruksi budaya. Budaya adalah sesuatu yang berdiri
diametral dengan pengetahuan. Pengetahuan berpegang pada obyektivitas,
universalitas, dan ketetapan. Budaya, sebaliknya, sesuatu yang bergerak dan
bercabang ke sana-sini seiring alun sejarah. Mengatakan pengetahuan sebagai
produk budaya sama artinya dengan mengatakan bahwa pengetahuan tidak seabsolut
yang dikira orang. Ia berubah dan bercabang bersama sejarah.
Pergeseran dari obyektivitas menjadi komunalitas memperoleh
tantangan politis. Bagaimana kemajemukan nalar bisa dipertanggungjawabkan dari
kacamata politik? Atau dengan kata lain, bagaimana sebuah hidup bersama yang
baik itu mungkin? Richard Rorty, Jurgen Habermas, dan John Rawls adalah
sebagian dari mereka yang menggulati masalah ini. Mereka tidak peduli dengan
gramatika nalar masing-masing komunitas. Mereka memikirkan bagaimana sebuah
gramatika nalar percakapan yang bisa membuat pelbagai kelompok memiliki
kesatuan konsepsi tentang hidup bersama.
Nalar percakapan sendiri adalah nalar yang tidak berpihak. Ia
adalah prosedur bagi masing-masing nalar komunitarian dalam memutuskan sebuah
konsensus. Ia tidak berurusan dengan isi gramatika kultural itu sendiri,
melainkan prosedur yang sehat percakapan antargramatika. Apakah ini potret
nalar puitis? Dari sisi ketidakterjebakannya pada gramatika, kelompok nalar
percakapan memang terdengar puitis. Namun, ketidakpeduliannya pada isi
gramatika kultural itu sendiri menyimpan masalah. Nalar percakapan hanya
mengamini kemajemukan gramatika tanpa memeriksa sedimentasi pengalaman yang
menua dalam masing-masing gramatika. Seolah-olah masing-masing gramatika
diterima apa adanya.
Ini membuat agresivitas nalar puitis pun mandek. Nalar hanya
diaksentuasikan dalam merumuskan prinsip-prinsip yang bisa diterima sebanyak
mungkin kelompok. Namun, tidak ditatapkan pada gramatika kelompok itu sendiri.
Tidak digerakkan secara lincah mencari gramatika-gramatika pengucapan baru
untuk membuka lapisan-lapisan yang tersembunyi dalam sedimentasi pengalaman
tersebut. Tuduhan monisme pun akhirnya bisa dijatuhkan kepada para pembela
nalar percakapan. Sesuatu yang sebenarnya ingin dijauhkan mereka dari sistem-sistem
pemikiran kontemporer.
Kemandekan upaya eksplorasi puitis nalar membuat sejarah
menang telak atas pertanyaan. Apa mendominasi apakah. Sebuah potret semesta
yang digambarkan Heidegger sebagai perlahan-lahan dilanda kegelapan. Ribuan
tanda tanya pun terselimuti jawaban. Yang asing hanya dihadirkan sebagai obat
kecemasan. Saat manusia berhadapan dengan teka-teki yang tak terpecahkan, yang
transenden didatangkan sebagai juru selamat. Tuhan bekerja secara misterius,
habis perkara.
Yang transenden lalu dituduh sebagai ruang hampa kognisi.
Setelah nalar berhenti, intuisi bekerja meneruskan perjalanan spiritual menuju
yang asing. Yang transenden hanya bisa dikenali lewat absennya nalar dan
menguatnya hati. Nalar manusia terbatas. Begitu cibir para mistikus. Namun,
nalar puitis tak mengenal horizon seperti itu. Naluri kerinduan pada yang tak
terbatas membuatnya senantiasa lincah bekerja mencari gramatika-gramatika baru.
Pencarian yang menyeret yang transenden ke dalam terang pengetahuan. Melampaui
yang benar dan yang salah menurut sejarah. Menggeser relativisme, sekaligus
senantiasa penuh selidik terhadap universalisme-absolutisme.
Hening
Tak satu pun lentera menyala saat aku
membaca/ selintas suara bergumam, "segala sesuatu jatuh ke dalam kebekuan
yang mencekam"/ bahkan melon atau pir dari taman tak berdaun. Sebait puisi
karya penyair Wallace Stevens itu mengingatkan kita untuk selalu eling lan
waspodo, ingat dan sadar, pada segurat keheningan yang senantiasa membayangi
cakrawala pengetahuan. Segurat keheningan yang senantiasa membujuk kita
memainkan nalar secara puitis.
Pada masa yang mulai melupakan apakah
ini, ingat dan sadar akan "yang hening" dan "yang lain"
sungguh menjanjikan sejumput cahaya. Cahaya yang telah lama redup dalam sepak
terjang sains, teologi, dan filsafat. Nalar yang digunakan tak lagi mencukupi
untuk membuat puisi baru. Yang berlaku semata-mata daur ulang gramatika ilmiah,
teologis, atau filosofis yang mulai menua dan membosankan. Saatnya bagi sains,
teologi, dan filsafat untuk berhening sejenak. Melepaskan diri dari keramaian
jawaban dan mulai belajar mengajukan pertanyaan. Singkat kata, belajar
merangkul kembali "kelainan" yang hilang.
Keheningan dan kelainan berbeda dengan
kesepian. Kita hidup dalam semesta yang menyimpan seribu gramatika pembuka
rahasia. Nalar yang sadar akan multiplisitas ini tak akan berhenti pada satu
sedimentasi sejarah. Melainkan, senantiasa bergulat mencari kunci-kunci pembuka
tanah tak berjejak yang tertimbun sejarah. Para sahabat yang melontarkan kritik
pada tulisan saya, Tanah Tak Berjejak Para Penyair, sungguh tahu bagaimana
memainkan nalar secara puitis. Mereka membuka dimensi-dimensi yang saya sendiri
tak menyadarinya sebelum ini. Mereka membaca sebuah gramatika baru dalam embrio
pemikiran. Pembacaan yang membuat saya kembali berkhidmat pada "yang
lain" dan "yang hening".