Advertisemen
1.1 Latar Belakang
Mahasiswa terbentuk dari dua kata yakni kata Maha dan
Siswa, yang jika diartikan Maha sama artinya dengan Yang dan Siswa artinya
Pelajar, jadi Mahasiswa sama saja bila dikatakan Yang Terpelajar. Juga dari
definisi lain, mahasiswa adalah sebuah kata yang mengandung banyak arti, bahkan
sudah banyak kalangan yang berusaha mengartikan kata tersebut, baik mahasiswa
itu sendiri, praktisi pendidikan, para ahli maupun Pemerintah sendiri. Begitu
banyaknya arti dari kata Mahasiswa sehingga menimbulkan banyak pandangan dan
hal tersebut adalah benar semua. Akan tetapi kadang diri kemahasiswaan tersebut
sulit untuk diterjemahkan dalam bentuk aktualisasi yang ideal sebagaimana
fungsinya, yakni agen of change (agen perubah), social of control (pengontrol
massa), iron stock dan berbagai fungsi yang disandang oleh mahasiswa yang
katanya “kaum intelektual”. Lembaga kemahasiswaan yang semestinya merupakan
wadah berkumpulnya para mahasiswa dalam merumuskan dan mengkreasikan gagasan
perubahan malah kemudian teralienasi oleh gagasan yang sifatnya
hedonis-materialis. Lembaga Kemahasiswaan, semisal Bem Universitas, MPM, DPM
dan lain sebagainya secara umum diseantero universitas-universitas di Indonesia
terkesan menjadi ajang perebutan kekuasaan belaka, bukannya saling merangkul
dan menjadikan kekuasaan sebagai corong perubahan.
Pada tataran Implikasi, kerap kali sebagian mahasiswa
yang resah dengan eksistensi kelembagaan hanya bersikap acuh tak acuh dan
pesimis. “Untuk apa berlembaga (beroraganisasi)toh akhirnya lembaga kemahasiswaan hanya jadi sapi perah juga ”. Ungkapan
pesimistis seperti ini sering diungkapkan sebagian mahasiswa yang kini berada
pada ujung traumatis. Memang realitasnya, telah terpampang dihadapan kita akan
menjamurnya aktivis-aktivis mahasiswa yang senang berlembaga hanya sebatas
ajang memperkaya diri. Dan sebagian yang lain melihatnya dengan kacamata keresahan
mencari alternatif memecahkan persoalan tersebut. Dengan menyaksikan fenomena
tersebut, Secara sederhana mau tak mau, kita kembali menyoroti lembaga kemahasiswaan. Semisal BEM, MPM, DPM
dll.
1.2
Lembaga Kemahasiswaan : Ambivalensi Antara Harapan Dan Kenyataan
Mahasiswa adalah representasi kekuatan penyeimbang yang
akan selalu ada dalam dinamika perkembangan budaya sebuah masyarakat yang diaktualisasikan
dalam kerangka lembaga maupun kapasitas individunya. Kerangka lembaga
kemahasiswaan pada dasarnya merupakan sebuah bagian integral dari investasi
ideologi dan dinamika perkembangan hubungan antara masyarakat, dan kampus
sebagai sebuah miniatur kehidupan masyarakat yang terkecil, merupakan benteng
kebenaran terakhir yang sering kali diharapkan menjadi avant garde terhadap semua dinamika perubahan yang terjadi. Atau
dalam istilah Ali Syari’ati mahasiswa adalah Rausyan Fikr, yakni orang-orang
yang tercerahkan(kaum intelektual) yang dalam stratifikasinya menempatkannya
pada posisi middle class (kelas menengah).
Kerangka objektifitas intelektual harus menjadi kerangka
berfikir yang mutlak ada, dan moralitas kebebasan menjadi inspirasi dari
kelompok yang memang memiliki tingkat kesadaran yang jauh lebih baik. Namun tak
dapat dipungkiri pula bahwa saat ini mahasiswa yang notabenenya merupakan
penggerak dari kelembagaan telah mengalami sebuah gerak disorientasi, disfungsi
dan dilematis antara harapan dan kenyataan. Harapan kebanyakan mahasiswa adalah
bagaimana mahasiswa mampu menjadi agen of change dengan menanamkan nilai-nilai
kebenaran dan keadilan dapat termanifestasikan dalam sebuah kenyataan baik
dalam tataran kampus maupun tataran eksternalnya sebagai tanggung jawab
akademik, intelektual dan sosial sebagaimana yang seharusnya bukan sebagaimana
yang apa adanya.
Disisi yang lain, harapan tersebut menemui ambivalensi
dengan kenyataan bahkan tak jarang kita menemukan lembaga kemahasiswaan hanya
dijadikan ladang untuk memperkaya diri dan kelompok. Sehingga kelembagaan
mahasiswa hari ini terkesan hanya sebagai wadah memperebutkan kekuasaan dengan
tujuan yang instan dan tak intelek. Jika demikian adanya, maka cepat atau
lambat kita pasti akan menyaksikan karakter mahasiswa seperti kunang-kunang tak bercahaya. Juga tak salah
jika Kritikus Pendidikan Brazil, Paulo Freire mengatakan :
Kampus
hari ini, lebih-lebih lembaga kemahasiswaannya seperti kuburan sedangkan penggeraknya
(mahasiswa) seperti mayat hidup.
Tentu realitas tersebut mau tidak mau, menjadi sebuah
persoalan yang mestinya tidak hanya sebatas mendapat perhatian mahasiswa,
dosen, atau civitas akademika saja, namun perlu dicarikan sebuah solusi
kongkretnya secara bersama-sama.
Mengapa kita harus menyoroti lembaga kemahasiswaan?
Pertanyaan buat mahasiswa masa kini. Tentu saja karena ada masalah pada lembaga
kemahasiswaan tersebut yang kemudian mendorong kita untuk menyorotinya.
Masalahnya apa saja? Dari pengamatan penulis baik dari literatur-literatur atau
studi dilapangan, masalah yang mengitari
lembaga kemahasiswaan saat ini adalah masalah disorientasi lembaga. Ada
beberapa faktor sehingga fenomena destruktif ini muncul, antara lain :
a.
Mahasiswa Malas Berlembaga
“Untuk apa berlembaga
(beroraganisasi) toh akhirnya lembaga kemahasiswaan hanya jadi sapi perah juga
”. (adagium)
Ungkapan pesimistis seperti ini sering diungkapkan sebagian
mahasiswa yang kini berada pada ujung traumatis. Pada titik kulminasinya ketika
Melihat kondisi lembaga-lembaga kemahasiswaan yang ada hanya sebagai simbol
formalitas belaka yang sifatnya materialistik. Sehingga mahasiswa lain yang
notabenenya resah dengan keadaan tersebut karena tak dapat berbuat apa-apa,
maka yang mereka dapat lakukan adalah tidak mau berlembaga atau malas
berlembaga. Hal ini sebenarnya merupakan bentuk protes semu atas keadaan
genting lembaga kemahasiswaan tersebut. Seiring berjalan waktu dan lembaga
kemahasiswaan tak kunjung menonjolkan jati dirinya sebagai lembaga yang
mengakomodir nilai idealis. Maka implikasinya semakin sistemik membentuk sebuah
kerangka berpikir baru pada mayoritas para mahasiswa. Kerangka berpikir seperti
ini memandang bahwa lembaga kemahasiswaan tak lebih dari wadah kumpul para
pemenang untuk menikmati jerih payah mereka, atau dengan kata lain hanya untuk
memperkaya diri.
Sebuah analisis lain memandang bahwa kecenderungan
mahasiswa sekarang yang malas berlembaga, ini diakibatkan dengan adanya
represifitas yang dilakukan oleh birokrat kampus terhadap mahasiswa dengan
metode yang sering dipakai yaitu :
1. Memperketat absensi kehadiran (kuantitas
kehadiran sekitar 80%, jika tidak memenuhi standar demikian maka mahasiswa
tersebut tidak dapat mengikuti ujian semester).
2. Merepresif nilai jika bertentangan atau
berbeda pendapat dengan dosen dan birokrat kampus.
3. Membuat perjanjian sepihak tanpa melakukan
diskusi dengan mahasiswa seperti yang terjadi di UNISRI, UNHALU dll
4. Merepresif mahasiswa yang kritis dengan metode
pemanggilan orang tua/wali.
5. Menghilangkan demokratisasi ketika mahasiswa
menuntut.
6. Rutinitas tugas (kawan-kawan mahasiswa EKSAKTA
yang paling merasakannya) yang membuat mahasiswa hampir tidak punya waktu untuk
mempelajari bidang ilmu lainnya.
7. Pemecatan atau Drop Out seperti yang terjadi
di UI Poltek Makassar, Univ. Mulawarman dsb.
Tak dapat dipungkiri bahwa bicara mahasiswa dalam
berlembaga atau lembaga kemahasiswaan tentu tak akan bisa terlepas dari
intervensi birokrasi. Aktivitas lembaga kemahasiswaan hari ini menjadi bukti
adanya sebuah intervensi birokrasi. Aktivitas mahasiswa kemudian dikontrol oleh
penguasa lewat kaki tangannya yakni pihak Rektorat dan Dosen Pengajar.
Mahasiswa kemudian di dorong untuk melakukan kegiatan yang bersifat serimonial,
eksklusif atau mengharumkan nama almamater bahkan watak militeristik yang
digunakan ketika menghadapi mahasiswa baru, yang menjadi pertanyaan kita kenapa
tidak banyak aktivitas atau gerakan mahasiswa yang gencar issu dunianya (sistem
pendidikan). Tentu karena tidak adanya pembasisan atau kaderisasi dan lembaga
kampuspun hanya sekedar pelaksana kegiatan yang tinggal dilaksanakan atau
disetujui oleh rektorat, lembaga hampir tidak punya nilai tawar dengan birokrat
kampus, sehingga kepentingan mahasiswa tidak pernah diperjuangkan. Yang
berujung pada kondisi traumatis semu, yakni malas berlembaga.
b.
Paradigma Berlembaga yang Salah Kaprah
Lembaga kampus telah mengalami absurditas gerakan atau
disorientasi dari hakikatnya sebagai lembaga kemahasiswaan yang mengabdi kepada
kepentingan mahasiswa dan masyarakat, dengan menjunjung tinggi nilai-nilai
kebenaran dan keadilan. Lembaga yang merupakan pabriknya ide-ide pembaharu
bukan saja bagi mahasiswa dalam tataran kampus, tapi juga masyarakat yang lebih
luas. Paradigma inilah yang sebetulnya merupakan jati diri mahasiswa.
Lagi-lagi, harapan tak seirama dengan kenyataan. Malahan
yang terjadi hari ini, lembaga kemahasiswaan seakan telah redup bagai bintang
tak bersinar, hanya dijadikan ladang mengeruk keuntungan dan memperkaya diri,
meskipun tidak semua seperti itu.
Jika kita boleh petakan lembaga kampus sekarang ini cenderung
melahirkan mahasiswa-mahasiswa seperti berikut ini :
1. Intelektualis
: golongan mahasiswa yang banyak mengkomsumsi teori tanpa adanya keperpihakan yang jelas terhadap
rakyat.
2. Aktivisme
: mahasiswa yang ikut ambil bagian untuk melawan rejim namun setela
status mahasiswanya berakhir ia kemudian menjadi penindas-penidas baru.
3. Sektarian :
kelompok mahasiswa yang berjuang hanya untuk kepentingan kelompoknya dan merasa
tidak usah mengajak lembaga-lembaga yang lainnya.
4. Feodal
: Mahasiswa yang terlalu menagungkan senioritas dan merasa dirinya yang
paling benar(anti demokrasi).
1.3
Meneropong Jejak Lembaga Kemahasiswaan Dalam Dinamika Perubahan Masyarakat
Aktualisasi dari kerangka berpikir mahasiswa sebagai
bagian dalam dinamika perubahan masyarakat direpresentasikan dalam kelembagaan
mahasiswa sendiri, baik diluar kampus maupun didalam. Sepanjang sejarahnya,
kekuatan lembaga mahasiswa baik exstra maupun intra kampus selalu dapat menjadi
stimulus dari perubahan yang terjadi dimasyarakat. Jika ditarik kebelakang, ketika
pada awal pergerakan perlawan nasional, kekuatan mahasiswa mempunyai afiliasi
yang sangat kuat dengan gerakan kepemudaan kebangsaan lainnya. Kerangka
idiologi dan politik kelompok atau
lembaga kepemudaan mengalami sebuah proses dinamisasi yang sangat luar
biasa, bagaimana kemudian para pemuda
tersebut mampu menjawab pertanyaan tentang kerangka berbangsa yang pada saat
itu jauh dari bayangan banyak orang.
Realitas yang muncul pasca perjuangan kemerdekaan, justru mengalami stagnasi, atau
boleh dapat dikatakan mundur, apa lagi ketika kekuatan orde baru muncul sebagai
kekuatan tunggal yang sangat sentralistik, kekuatan mahasiswa mengalami disorientasi
yang sangat jauh. Kerangka berorganisasi dihancurkan dan mahasiswa dijauhkan
dari realitas yang ada di masyarakat. Sejarah juga mengatakan bahwa, angkatan
66 dulu bukanlah kekuatan real ideal dari mahasiswa, karena bagaimanapun juga
KAMI dan KAPI tidak pernah lepas dari kekuatan militer (Angkatan Darat) yang
menjadi supporting system. Bangunan
rapuh yang ditinggalkan oleh para “alumnus” KAMI, pada akhirnya diturunkan
kepada lapisan dibawahnya, angkatan 74, yang juga dicatat dalam sejarah tidak
dapat melepaskan kebobrokan generasi sebelumnya, kalau mau jujur hariman
siregar yang juga kader SGU (Study Group UI), pada waktu itu tidak dapat
dilepaskan dari pertarungan politik praktis antara ASPRI kepresidenan dengan
KOPKAMTIB. Akhirnya culture berorganisasi
sering menjadi sangat kaku dan jauh dari kerangka objektif sebuah organisasi
yang ideal, apa lagi ketika menteri pendidikan pada waktu itu (Daud jusoef)
memberlakukan NKK/BKK sebagai sebuah model pengkebirian lembaga kemahasiswaan.
Dan kondisi tersebut masih sangat terasa hingga saat ini.
A.
LEMBAGA EXSTRA KAMPUS (sebuah kritik)
Sebagai sebuah media aktualisasi yang ada diluar kampus,
maka komponen exstra kampus mempunyai kecenderungan terhadap kebutuhan dan
tuntutan kekuatan yang memang mengafiliasikannya, keberadaan mahasiswa-mahasiswa
dalam lembaga exstra kampus memiliki kerangka berfikir yang terkadang lebih
fleksibel dibandingkan kawan – kawan yang ada dalam kelembagaan formal intra
kampus. Karakter organisasinya tidak dapat dipukul rata, antara sesama organ –
organ exstra kamus lainnya, karena tiap – tiap organ exstra kampus
memiliki kecenderungan untuk berbeda
satu dengan yang lainnya. Namun tetap
objektifitasnya harus selalu dipertanyaakan. Artinya tidak akan pernah
ada jaminan bahwa kerangka organisasi exstra kampus bebas dari nilai. Kondisi
objektif yang sering terlihat adalah bagaimana kekuatan mahasiswa exstra kampus
akan selalu menyesuaikan platform organisasinya terhadap platform organisasi induk yang memang menjadi buffer
diluar kampus. Dan yang akan sangat memprihatinkan adalah, ketika kekuatan
buffer tersebut adalah sebuah partai politik ataupun kekuatan massa yang main
stream, maka kekuataan mahasiswa yang didalamnya (exstra kampus), mau tidak mau
adalah sub ordinate dari kekuatan partai politik tadi, karena pada akhirnya
intervensi kekuasaan terhadap dinamika kampus dan kerangka berfikirnya akan
sangat mungkin terjadi. Dan jika ini terjadi, sah jika banyak kelompok yang
akan mempertanyakan kerangka objektifitas dan intelektual mahasiswa yang
seharusnya memang independent.
Baca Juga : Komunitas Kreatif Sebagai Embrio Masyarakat Madani (Masyarakat Madani cita Masyarakat Ideal)
Baca Juga : Komunitas Kreatif Sebagai Embrio Masyarakat Madani (Masyarakat Madani cita Masyarakat Ideal)
B.
LEMBAGA FORMAL INTRA KAMPUS
Sejarah masih terus mengingatkan kita bahwa Masa Soeharto
(Orde Baru), ruang politik dan aktualisasi mahasiswa ditutup dengan sangat
rapat oleh kekuatan rezim orde baru. Cetak biru sejarah nasional kita menorah
tinta merah tentang kekuatan para mahasiswa angkatan ’66 yang berkolaborasi
dengan para local army friend – nya Amerika, berhasil “menumbangkan” kekuatan
rezim soekarno. Cacat sejarah rezim orde
baru kembali terulang, ketika pada tahun 70an kekuasaan memberlakukan NKK/BKK,
masa – masa kegelapan pada organisasi kemahasiswaan dimulai, dan kekuatan
mahasiswa dalam lembaganya mengalami disorientasi, batas kesadaran mahasiswa
seperti sangat sempit, sampai akhirnya, format kelembagaan mahasiswa hanya
menjadi sapi yang selalu menurut dan tunduk pada kekuasaan. Jangankan mencoba
mendekonstuksi, berbeda pendapatpun adalah sesuatu yang tabu. Lembaga formal
pada akhirnya hanya menjadi tempat berkumpulnya para birokrat mahasiswa, bahkan
mungkin biro jodoh ilegal. Hingga saat ini banyak kawan kawan percaya bahwa
perubahan tidak akan pernah datang dari lembaga formal kampus, karena memang
syarat dan kerangka organisasinya dihancurkan sedemikian rupa oleh rezim orde
baru. Kritik yang paling tajam terhadap lembaga formal kampus adalah ketika
mekanisme formalnya menjadi sangat formalistik dan kaku hingga komponen
didalamnya sangat asing dari basisnya.
Belajar dari histori lembaga mahasiswa Indonesia sebagai
alat atau wadah perjuangan yakni dengan mengangkat problem pokok mahasiswa dan
rakyat. Di mana problem pokok mahasiswa dan rakyat tentu pendidikan yang murah,
ilmiah dan demokratis, sehingga mereka yang ekonominya menengah ke bawah juga
mempunyai kesempatan mengecap pendidikan di perguruan tinggi, konsep ini
dimiliki oleh dewan–dewan mahasiswa yakni kesetaraan dengan pihak birokrat
kampus dalam pengambilan kebijakan pendidikan yang sangat langkah ditemui di
lembaga-lembaga Intra kampus sekarang ini.
Kondisi lembaga kampus yang tidak akomadatif untuk
mendengar dan memperjuangkan aspirasi mahasiswa tentu tidak bisa dipertahankan
lagi. Yang mesti dilakukan segera adalah mempelajari, mengevaluasi dan
melakukan perubahan-perubahan dalam sistem kelembagaan sebaga syarat mutlak
sebuah lembaga maju. Oleh karna itu selayaknya kita mempelaari bersama konsep
SMPT yang sekarang dengan Dewan mahasiwa yang pernah bersejarah dengan adanya
kesetaraan antara mahasiswa dan birokrat kampus dimana mahasiwa terlibat
langsung dalam pengambilan kebijakan yang didalamnya adalah tentang kurikulum,
alokasi dana kemahasiwaan, peraturan akademik bahkan mahasiswa dilibatkan dalam
kebijakan ekonomi dan politik pada suatu negara.
Format ideal
organisasi atau lembaga pada hakekatnya harus dipenuhi beberapa syarat yang
mutlak harus ada, terutama culture berorganisasi itu sendiri. Tapi jauh sebelum
hal tersebut ada, filial awal yang harus ada yaitu :
sebuah kerangka filosofi dari komponen yang
ada di dalamnya, artinya, bagaimana filosofi harus dapat menjadi kekuatan yang
mendasar tentang cita – cita dan bangunan dari sebuah organisasi.
Pra syarat yang kedua adalah, kerangka ideologi
dari organisasi itu sendiri, dimana ideologi organisasi adalah penerjemahan
dari wacana filosofi yang ada pada komponen – komponen di dalamnya.
Yang ketiga garis politik dari organisasi, hal
ini tidak serta merta menjustifikasi bahwa organisasi ini adalah sebuah partai
politik, namun lebih merupakan suatu kerangka strategis sebagai arah dari
organisasi tersebut.
Dan yang terakhir adalah mekanisme organisasi,
dimana hal ini merupakan sebuah kerangka taktis yang lebih bersifat pragmatis,
namun syarat mutlak dalam organisasi, mekanisme organisasi sesungguhnya merupakan
representasi dari seluruh kerangka organisasi yang diatasnya.
Sesungguhnya kerangka ideal inilah yang sangat ditakuti
oleh kekuatan manapun, karena sangat potensial untuk dapat menjadi fungsi
control yang tidak akan ada hentinya kepada kekuasaan. Dan rezim orde baru
berhasil mematikannya, namun tidaklah mengherankan karena bangunan rezim itupun
pada awalnya dikonstruksi oleh para pelacur intelektual yang membunuh idealisme
mereka sendiri. Turunan dari keempat syarat ideal dalam sebuah organisasi
diatas pada akhirnya akan diturunkan dalam bentuk organisasi yang harus saling
menjadi support system dari perlawanan tadi, pada prinsipnya tiga bentuk ideal
yang harus selalu sinergis dalam kerja – kerjanya adalah :
1. Organisasi/lembaga legal (formal), kerangka
formal yang ada didalamnya seharusnya dibentuk oleh organisasi yang juga
menjadi supporting systemnya yaitu organisasi semi legal. Namun kerangka formal
mutlak dibuat agar pilar tersebut dapat melakukan kerja – kerja populis yang
strategis, dan mekanisme kerjanya kadang menjadi kaku, namun terkadang hal ini
dibutuhkan agar organisasi ini dapat menjaga kamuflase suppoting system yang
lainnya. Ciri khasnya adalah mekanisme kelembagaannya sangat struktural.
2. Organisasi semi legal, memerankan fungsi yang
tidak dapat dikerjakan oleh kekuatan formal, artinya bagaimana kerja – kerjanya
memiliki kecenderungan yang klendestein, dan agak tertutup kemudian bangunan
organisasinya sangat sederhana, namun memiliki kepemimpinan yang tegas.
3. Organisasi ilegal, dimana komponennya sudah
harus memahami tugasnya masing – masing namun dapat terkoordinasi dengan baik,
organisasi ini tidak mengenal struktur dan bentuk kelembagaan, namun tetap
merupakan lingkar yang sinergis dari support system yang lainnya. Kecenderungan
dari organisasi ini adalah sangat tertutup dan orde baru membahasakannya
sebagai organisasi tanpa bentuk. Saya tidak tahu kalau pak Sby?
1.4
PILAR ORGANISASI/LEMBAGA MAHASISWA IDEAL
Dalam format yang ideal, sebelum bentuk organisasi di
hancurkan melalui NKK/BKK oleh rezim soeharto, bentuk – bentuk organisasi akan
saling bersinergi satu dengan yang lainnya. Dan format tersebut dibangun atas
tiga pilar perlawanan yang mutlak harus ada, baru kemudian muncul pilar keempat
sebagai suatu realitas dari kerangka kelembagaan mahasiswa yang memang
disistematiskan oleh rezim, namun realitas kelembagaan tersebut selalu
dupayakan untuk mampu melakukan posisioning yang jelas sebagai bagian dari coor
group untuk juga berfungsi sebagai coor group dalam melakukan social control
kepada kekuasaan, yaitu :
1. Kelompok study mahasiswa, dimana didalamnya
dibangun kerangka filosofi dari komponen mahasiswa, dan harus menjadi pilar
utama dari gerakan perlawanan mahasiswa itu sendiri, kelompok study harus dapat
mendialektikakan berbagai realitas dimasyarakat kemudian membahasakanya dalam
kerangka intelektual.
2. Pilar yang kedua adalah, kekuatan pers
mahasiswa yang harus dapat mengaktulisasikan kerangka berfikir yang
didialektikakan dalam kelompok study mahasiswa, pers mahasiswa harus memihak
pada kekuatan masyarakat dan kebebasan intelektual kampus, pers mahasiswa juga
harus dapat menjadi kekuatan antitessa dari media main stream. Seperti Lembaga
Pers Mahasiswa Islam (LAPMI) dll.
3. Pilar kekuatan yang ketiga adalah komite aksi,
dimana dialektika diturunkan dalam dalam
mekanisme praksis guna melakukan perang gerakan terhadap kekuasaan ataupun
hegemoni lama yang tidak memihak.
4. Pilar keempat sebenarnya merupakan sebuah
realitas yang tidak mungkin dapat dinaifkan, yaitu kelembagaan formal
mahasiswa, karena bagaimanapun juga pertarungan kekuatan politik terkecil
adalah perebutan lembaga formal intra kampus, dimana ia adalah salah satu
supporting system yang paling mampu melakukan bargaining kepada kekuatan formal
lainnya yang ada di kekuasaan, baik otoritas kampus maupun kekuatan kekuasaan
politik lainnya.
Keempat pilar ideal terbuat pada perkembangannya, selalu
dimandulkan oleh kekuasaan (Baca : Birokrat Kampus), hingga akhirnya kekuatan –
kekuatan tersebut berjalan sendiri – sendiri dan tidak dapat bersinergi apalagi
menjadi supporting system. Dalam hal ini akhirnya tawaran dan strategi yang
ideal adalah bagaimana melakukan kerja – kerja yang klendestein namun
terorganisir, dan tetap ada yang selalu diingat, bahwa kekuatan mahasiswa
terletak pada kerangka intelektualnya, dimana objektifitas harus dijunjung
tinggi, dan mahasiswa tetap tidak dapat disamakan dalam kerangka berfikir
partai, karena subjektifitas atas kerangka idiologi dan garis politik akan
sangat mengganggu wacana ideal dari cita – cita intelektualits mahasiswa. Harus
diingat bahwa, jiwa jaman yang tumbuh akan selalu berbeda, maksudnya, proses
dekonstruksi pada kerangka ideal akan selalu terjadi, dan kerangka moral dari
gerakan mahasiswa akan selalu di pertanyakan, karena memang mahasiswa sebagai
gerakan moral sangat berbeda dari moral gerakan itu sendiri. Pada akhirnya mau
tidak mau harus benar – benar dipahami bahwa gerakan mahasiswa adalah bagian
dari gerakan politik untuk suatu perubahan, meskipun kerangkanya sangat jauh
dari kerangka kekuasaan, dan jika memang kesemua pilar ideal tersebut dapat
dibangun maka tidak akan pernah ada kejenuhan terhadap gerakan mahasiswa,
karena cowboy - cowboy
muda ini akan selalu mengalami regenerasi. Dan tiap komponennya selalu
punya spirit yang tidak akan pernah mati untuk menegakkan keadilan.
Belajar dari histori lembaga mahasiswa Indonesia sebagai
alat atau wadah perjuangan yakni dengan mengangkat problem pokok mahasiswa dan
rakyat. Di mana problem pokok mahasiswa dan rakyat tentu pendidikan yang murah,
ilmiah dan demokratis, sehingga mereka yang ekonominya menengah ke bawah juga
mempunyai kesempatan mengecap pendidikan di perguruan tinggi, konsep ini dimiliki
oleh dewan–dewan mahasiswa yakni kesetaraan dengan pihak birokrat kampus dalam
pengambilan kebijakan pendidikan yang sangat langkah ditemui di lembaga-lembaga
Intra kampus sekarang ini.
Daftar
Pustaka
Bryson, Jhon M. 2001. Perencanaan Strategis Bagi Organisasi Sosial. Yogyakarta :
Jalasutra
Syari’ati, Ali. 2008. Sosialisme Islam. Yogyakarta: Rausyan Fikr
https//:www.philo2.blogspot.com/catatan-para-demonstran/
https//:www.philo2.blogspot.com/Paulo Freire/
Baca Juga :
Important Information
Mari Bergabung Bersama Kami
Baca Juga :
Important Information
Mari Bergabung Bersama Kami