Refleksi Hari Pendidikan Nasional: Suara Mahasiswa, Dilema Perguruan Tinggi

Advertisemen
<img src='https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhfXFz9Wn3NjfP427L186sIdktUV8Y7XoSF3bqw3IXgwQ8P2MS2ml5qqicHEBcdRngZUf-NlyVBtSmHTdpkzRupBzNTYMhRzbfcWjt4M_Y2JqM_3BB5U8fhUVg-WYSU0gb5NNyi88ygewUD/s320/jufraudo.jpg' width='100' height='100' alt='gambar Refleksi Hari Pendidikan Nasional: Suara Mahasiswa, Dilema Perguruan Tinggi'/>



Setiap Tanggal 2 Mei Bangsa Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional. Yang disingkat HARDIKNAS. Meskipun fakta hari pendidikan nasional seakan hanya menjadi serimonial belaka atau hanya menyangkut hari libur, tanggal merah, berita trend, viral dan kata-kata yang biasa saja. Namun sebenarnya hardiknas lebih dari sekedar itu. Ada sekelumit fakta unik dan bersejarah. Itu tentu sudah pasti. Beberapa pertanyaan tentang hari pendidikan nasional, apa makna hari pendidikan nasional? apa tujuan hari pendidikan nasional diadakan? Mendapat momentum-nya hari ini.


Hari Pendidikan Nasional adalah momentum bersejarah bagi Bangsa Indonesia! Mencerdaskan kehidupan bangsa adalah amanah dari Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Mencerdaskan kehidupan bangsa tidak akan pernah lepas dari pendidikan dan institusi pendidikan. Salah satunya, adalah Perguruan Tinggi. 

Mengawali momentum Hari Pendidikan Nasional yang jatuh pada tanggal 2 mei ini, Phylo Post mengangkat tulisan seorang Sahabat bernama Jufra Udo. Berikut artikelnya :

Baca Juga :



“Untuk apa kuliah toh akhirnya menjadi pengangguran juga ”. Ungkapan pesimistis seperti ini sering diungkapkan masyarakat yang kini berada pada ujung traumatis. Memang realitas-nya, telah terpampang dihadapan kita akan menjamurnya sarjana-sarjana yang resah mencari pekerjaan. Dengan menyaksikan fenomena tersebut, salah satu celah keterbatasan kita adalah kembali menyoroti  perguruan tinggi. Mengapa kita harus menyoroti perguruan tinggi?

Mengutip laporan Unesco, Jacquers Delors et al (1998) bahwa peran perguruan tinggi di-negara berkembang sangatlah sentral. Mengingat posisi negeri ini, pernyataan Unesco tersebut menjadi tolak ukur pihak terkait untuk kembali merekonstruksi perguruan tinggi sehingga mampu menghasilkan SDM yang ber-kompeten dan berdaya saing serta menjawab keresahan masyarakat terhadap parameter pengangguran yang cukup tinggi dari output yang dihasilkan perguruan tinggi. Dengan harapan, output kampus terserap didunia kerja dengan memiliki  skill terapan sehingga statistik pengangguran dapat di-minimalisir.

Menurut data BPS (Agustus,2010), menunjukkan sebanyak 8,32 juta penduduk Indonesia berstatus pengangguran. Diantaranya, diploma (12,7 %) dan sarjana (11,92 %). Persentase tersebut telah memunculkan pertanyaan terhadap keberadaan perguruan tinggi. Apakah perguruan tinggi masih layak dijadikan sebagai mahkota  kecerahan masa depan oleh masyarakat? Sistem apa yang berjalan dalam perguruan tinggi sehingga melahirkan para ‘sarjana buntu’? Pertanyaan ini akan menjadi sebuah intropeksi diri lembaga perguruan tinggi yang selalu mengagungkan: “menciptakan sumber daya manusia yang ber-kompetensi dan berdaya saing”. Namun faktual-nya, sejauh mana peng-implementasi-an visi-misi perguruan tinggi hari ini? Sungguh amat lucu ketika ada mahasiswa yang mengatakan bahwa “yang bernilai dalam ruang kuliah hanyalah absensi”.

Baca juga :

Sudah saatnya pihak-pihak terkait melakukan penataan system pendidikan secara merata dalam kampus. Mengingat, pendidikan merupakan salah satu aspek pembentukan manusia agar berkarakter layaknya manusia. Sebagaimana menurut Ibnu Sina dalam karyanya As-Siyasah fit at Tarbiyah bahwa tujuan pendidikan harus diarahkan pada pengembangan seluruh potensi yang dimiliki seseorang kearah pengembangan yang sempurna,yaitu perkembangan fisik, intelektual,dan budi pekerti. Satu kekhawatiran penulis, apabila model pembelajaran hari ini sekedar menjadikan peserta didik sebagai obyek yang terus diisi tanpa transaksi  timbal balik atau pendidikan gaya bank seperti yang dikatakan seorang revolusioner pendidikan, Paulo Freire. Jika demikian, maka cepat atau lambat kita pasti akan menyaksikan karakter generasi muda  seperti  kunang-kunang tak bercahaya.

Satu poin penting bagi mahasiswa, bahwa organisasi terbukti  mampu menempa mahasiswa menjadi insan bernilai plus kaitannya soft  skill. Oleh karena itu, saya sangat me-naif-kan mahasiswa-mahasiswa yang mengatakan bahwa “penelitian Harvard University bahwa soft skill 80 % menentukan kesuksesan seseorang dalam dunia kerja. 

Dengan demikian, patut kiranya mahasiswa untuk mengenyam pendidikan organisasi. Sebab organisasi hanyalah aktivitas untuk membuang-buang waktu, dan tak memiliki faedah”. Berdasarkan disamping terus mengawasi pola pendidikan di-kampus yang mencederai nilai-nilai humanis. Hingga akhirnya, kita mampu meruntuhkan  paradigma bahwa kampus sebagai ‘pabrik pengangguran” di-mata publik saat ini.(***)

Artikel Hari Pendidikan Nasional ini bukanlah artikel Hari Pendidikan Nasional Wikipedia atau bersumber dari wikipedia, tapi merupakan tulisan dari seorang sahabat bernama JUFRA UDO, telah ditulis sejak tahun 2002. Momentum hari pendidikan nasional (Hardiknas) ini Phylo Post merasa perlu mengangkat kembali karya-karya lama namun tetap relevan dengan kondisi ke-kini-an. Karena itu juga jika pembaca merasa ada yang kurang, mohon dimaklumi. Terima Kasih Sudah Berkunjung. Selamat Hari Pendidikan Nasional. Jika Anda suka tulisan ini, tentu tahu dong apa yang harus dilakukan. hehe
Advertisemen