BAB 8 KONSEPSI REALISTIS TENTANG ALAM SEMESTA | MURTADHA MUTHAHHARI

Advertisemen
PHYLO POST - BAB 8 KONSEPSI REALISTIS TENTANG ALAM SEMESTA | MURTADHA MUTHAHHARI
BAB 8 KONSEPSI REALISTIS TENTANG ALAM SEMESTA | MURTADHA MUTHAHHARI

Islam adalah sebuah agama yang realistis. Arti kata "Islam" adalah tunduk, patuh, menerima. Ini menunjukkan bahwa syarat pertama menjadi seorang Muslim adalah menerima realitas dan kebenaran. Islam menolak setiap bentuk keras kepala, prasangka, taklid buta, berat sebelah dan egoisme. Islam memandang semua itu bertentangan dengan realisme dan pendekatan realistis terhadap kebenaran. Dari sudut pandang Islam, orang yang mencari ke¬benaran, namun upayanya ini menemui kegagalan, dapat dimaafkan. Menurut Islam, kalau kita secara membuta atau karena keturunan menerima kebenaran, sementara itu kita keras kepala dan angkuh, maka apa yang kita lakukan itu tak ada nilainya. Seorang Muslim sejati, baik laki-laki maupun perempuan, mesti dengan gairah menerima kebenaran di mana pun kebenaran itu didapatinya. Sejauh menyangkut menuntut ilmu pengetahuan, seorang Muslim tidak memiliki prasangka, atau sikapnya tidak berat sebelah. Upayanya mendapatkan ilmu pengetahuan dan kebenaran tidak hanya pada masa tertentu dalam hidupnya dan juga tidak hanya di wilayah tertentu. Dia juga tidak menuntut ilmu pengetahuan dari orang tertentu saja. Nabi saw bersabda bahwa menuntut ilmu pengetahuan adalah wajib bagi setiap Muslim, baik laki-laki mau¬pun perempuan. Nabi saw juga meminta kaum Muslim agar menerima ilmu pengetahuan dari seorang penyembah berhala sekalipun.


Dalam sabda lain, Nabi saw mendesak kaum Muslim untuk menuntut ilmu pengetahuan sekalipun harus pergi ke negeri Cina.Kemudian Menurut riwayat, Nabi saw bersabda: "Tuntutlah ilmu pengetahuan, sejak dari ayunan hingga liang lahat."

Memahami problem secara parsial dan dangkal, secara membuta mengikuti orang-orang tua, dan menerima tradisi turun-temurun yang tidak logis, karena semua ini bertentangan dengan jiwa menerima kebenaran, maka Islam mengecamnya, dan dianggap menyesatkan.

Allah Adalah Realitas Absolut dan Sumber Kehidupan

Manusia adalah makhluk realistis. Anak yang baru lahir, sejak detik-detik pertama kehidupannya, seraya mencarvcari susu ibunya, mencarinya sebagai realitas. Secara berangsur-angsur tubuh dan jiwa bayi ini berkembahg sedemikian sehingga dia dapat membedakan antara dirinya dan sekitarnya. Kendatipun kontak bayi ini dengan sekitarnya terjadi melalui serangkaian pemikirannya, namun dia tahu bahwa realitas sekitarnya itu beda dengan realitas pemikirannya yang juga digunakannya sebagai perahtara saja.

Karakteristik Integral Alam Semesta

Realitas yang dapat ditangkap oleh manusia melalui inderanya dan yang kita sebut dunia, memiliki sifat-sifat khas integral berikut ini:

1. Terbatas

Segala yang dapat ditangkap oleh indera, dari partikel yang paling kecil sampai bintang yang paling besar, ruang dan waktunya terbatas. Tidak ada yang dapat eksis di luar ruang dan waktunya yang terbatas itu. Benda-benda tertentu menempati ruang yang lebih besar dan masa eksisnya lebih panjang, sementara sebagian benda lain menempati ruang yang lebih kecil dan masa eksisnya lebih pendek. Namun pada akhirnya benda-benda tersebut terbatas ruang dan waktunya.

2. Berubah

Segala sesuatu berubah dan tidak tahan lama. Segala yang dapat ditangkap oleh indera di dunia ini, keadaannya tidak berhenti. Kalau tidak berkembang, ya rusak. Benda material yang dapat ditangkap oleh indera, sepanjang masa eksistensinya, selalu mengalami perubahan sebagai bagian dari realitasnya. Kalau tidak memberikan sesuatu, ya menerima sesuatu, atau memberi sekaligus menerima. Dengan kata lain, kalau tidak menerima sesuatu karena realitas benda-benda lain dan menambahkan sesuatu itu pada realitasnya sendiri, ya memberikan sesuatu karena realitasnya atau menerima sekaligus memberi. Bagaimanapun juga, tak ada yang tetap statis. Sifat khas ini juga menjadi sifat khas segala yang ada di dunia ini.

3. Ditentukan

Sifat khas lain dari benda-benda kasat indera adalah ditentukan. Kita dapati bahwa benda-benda tersebut semuanya ditentukan. Dengan kata lain, eksistensi masing-masing ditentukan oleh dan bergantung pada eksistensi benda lainnya. Tidak ada yang dapat eksis jika benda-benda lainnya tidak eksis. Kalau kita perhatikan dengan saksama realitas benda-benda material kasat indera, ternyata banyak "jika" menyangkut eksistensinya. Tak dapat ditemukan satu benda kasat indera yang bisa eksis tanpa syarat dan tanpa tergantung benda lain. Eksistensi segala sesuatu tergantung pada eksistensi sesuatu yang lain, dan eksistensi sesuatu yang lain juga tergantung pada eksistensi sesuatu yang lainnya lagi, dan seterusnya.

4. Bergantung

Eksistensi segala sesuatu tergantung pada terpenuhinya banyak syarat. Eksistensi masing-masing syarat ini tergantung pada ter¬penuhinya syarat lain. Tak ada sesuatu yang dapat eksis dengan sendirinya, yaitu tak ada syarat untuk eksistensinya. Dengan demikian, bergantung merupakan sifat segala yang ada.

5. Relatif

Eksistensi dan kualitas segala sesuatu itu relatif. Kalau kita menyebutnya besar, kuat, indah, berusia tua dan bahkan ada, kita mengatakan begitu dalam bandingannya dengan benda-benda lain. Kalau kita mengatakan, misalnya, bahwa matahari sangat besar, yang kita maksud adalah bahwa matahari lebih besar daripada bumi dan planet lain dalam sistem tata surya kita. Kalau tidak, sesungguhnya matahari ini sendiri lebih kecil daripada banyak bintang. Juga, ketika kita mengatakan bahwa kapal atau binatang tertentu hebat, kita membandingkannya dengan manusia atau sesuatu yang lebih lemah daripada manusia. Bahkan eksistensi sesuatu itu komparatif. Bila kita bicara soal eksistensi, kesempurnaan, kearifan, keindahan, atau kekuatan, berarti kita mempertimbangkan tingkat lebih rendah dari kualitas itu. Kita selalu dapat memvisualisasikan tingkatannya yang lebih tinggi juga, dan kemudian tingkatan lebih tinggi yang berikutnya. Setiap kualitas yang dibandingkan dengan tingkatannya yang lebih tinggi, diubah menjadi sebaliknya. Eksistensi menjadi non-eksistensi, sempurna diubah menjadi tidak sempurna. Juga, kearifan, keindahan, keagungan dan kehebatan masing-masing diubah menjadi kebodohan, keburukan dan kehinaan.

Daya berpikir manusia, yang ruang lingkupnya—beda dengan ruang lingkup indera—tidak hanya hal-hal lahiriah, namun juga sampai kepada apa yang ada di balik layar eksistensi, menunjukkan bahwa yang eksis itu bukan saja segala yang kasat indera yang terbatas, berubah, relatif dan tergantung itu.

Panorama eksistensi yang kita lihat tampaknya, pada umumnya, ada dengan sendirinya dan berdikari. Karena itu, tentunya ada satu kebenaran yang abadi, tak bersyarat, mudak, tak terbatas, dan ada selalu di balik panorama eksistensi itu. Segala sesuatu bergantung pada kebenaran ini. Kalau tidak, panorama eksistensi tak mungkin seperti ini. Dengan kata lain, tidak ada yang eksis sama sekali.

Al-Qur'an menggambarkan bahwa Allah ada sendiri dan berdikari. Al-Qur'an mengingatkan bahwa segala yang ada, yang tergantung dan relatif itu, membutuhkan adanya suatu kebenaran yang ada sendiri untuk menopang eksistensinya. Allah berdikari dan segala sesuatu bergantung pada-Nya. Allah sempurna, karena segala sesuatu itu tidak ada dari dalam dan membutuhkan suatu Kebenaran yang akan menutupi ketidakadaan tersebut dengan eksistensi.

Al-Qur'an menggambarkan segala sesuatu sebagai "tanda" atau "ayat". Dengan kata lain, pada gilirannya segala sesuatu merupakan ayat dari "wujud tak terbatas lagi abadi serta ilmu, kuasa, dan kehendak-Nya". Menurut Al-Qur'an, alam semesta laksana sebuah kitab yang disusun oleh satu wujud yang arif, yang setiap baris dan katanya merupakan tanda kearifan penulisnya. Dari sudut pandang Al-Qur'an, kalau orang semakin tahu realitas segala sesuatu, maka dia semakin mengenal kearifan Allah, kuasa dan rahmat-Nya.

Dari satu sudut, setiap ilmu alam (maksudnya adalah ilmu yang digunakan untuk mengkaji dunia fisis. Misalnya, fisika, kimia, biologi, geologi, botani—pen.) merupakan cabang dari kosmologi. Dari sudut lain dan cara melihat sesuatu yang lebih dalam, setiap ilmu alam merupakan cabang dari pengetahuan (pengenalan atau pengakuan) tentang Allah.

Untuk menjelaskan sudut pandang Al-Qur'an, dalam hal ini dikutipkan satu ayat Al-Qur'an saja di antara banyak ayat serupa. Ayat tersebut mengatakan: Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir. (QS. al-Baqarah: 164)

Dalam ayat tersebut, manusia diajak untuk memperhatikan kosmologi umum, industri pembuatan kapal, turisme beserta keuntungan finansialnya, meteorologi, asal-usul angin dan hujan, gerakan awan, biologi dan ilmu hewan. Al-Qur'an memandang perenungan tentang filosofi ilmu-ilmu ini sebagai sesuatu yang membawa kepada pengenalan akan Allah.

Sifat-sifat Allah

Al-Qur'an mengatakan bahwa Allah memiliki semua sifat yang sempurna.

Dialah yang memiliki Nama-nama yang paling baik. (QS. al-Hasyr: 24)

Dan bagi-Nyalah sifat yang Mahatinggi di langit dan di bumi. (QS. ar-Rûm: 27)

Sebagaimana sudah dipaparkan, Allah Mahahidup, Mahatahu, Maha Berkehendak, Maha Pengasih dan Penyayang, Maha Pemberi Petunjuk, Maha Pencipta, Maha Arif, Maha Pengampun dan Maha Adil. Seluruh sifat yang Mahatinggi, dimiliki-Nya. Allah bukanlah tubuh dan juga bukan tersusun. Dia tidak lemah dan juga tidak kejam. Kelompok pertama sifat Mahatinggi Allah, yang menunjuk-kan kesempurnaan-Nya, disebut sifat positif; sedangkan kelompok kedua, sifat-Nya yang menunjukkan bahwa Dia tidak memiliki kelemahan, kekurangan dan ketidaksempurnaan, disebut sifat negatif. Kita memuji dan menyucikan Allah. Bila kita memuji-Nya, kita menyebut sifat positif-Nya, dan bila kita menyucikan-Nya, kita mengatakan bahwa Dia bebas dari semua yang tidak patut bagi-Nya.

Dalam kedua kasus itu kita menegaskan Pengetahuan-Nya untuk kepentingan kita sendiri, dan dengan demikian kita mengangkat moril kita sendiri.

Monoteisme

Allah tidak mempunyai sekutu. Tak ada yang seperti-Nya. Pada dasarnya mustahil bila ada yang seperti-Nya, karena kalau begitu berarti ada dua Tuhan atau lebih, bukannya satu. Ada dua, tiga atau lebih merupakan sifat khas sesuatu yang terbatas dan relatif. Dalam kaitannya dengan wujud yang mutlak lagi tak terbatas, pluralitas tak ada artinya. Misalnya, kita dapat punya satu anak. Juga dapat punya dua anak atau lebih. Kita juga dapat memiliki seorang teman. Juga dapat memiliki dua teman atau lebih. Teman atau anak merupakan wujud yang terbatas, dan wujud yang terbatas bisa ada yang menyerupainya, dan bisa banyak jumlahnya. Namun wujud yang tak terbatas sama sekali tak mungkin berlipat jumlahnya. Contoh yang berikut ini, meskipun tidak memadai, dapat juga ada gunanya untuk menjelaskan masalah ini.

Mengenai dimensi-dimensi alam material, yaitu alam semesta yang dapat kita lihat dan rasakan, para ilmuwan memiliki dua teori. Sebagian berpendapat bahwa dimensi-dimensi alam semesta itu terbatas. Dengan kata lain, alam ini ada titik akhirnya. Namun sebagian yang lain berpendapat bahwa dimensi-dimensi alam material itu tak ada tengahnya, tak ada awalnya, dan tak ada akhirnya. Kalau kita menerima teori bahwa alam material terbatas, maka timbul pertanyaan apakah alam itu hanya ada satu atau lebih dari satu? Namun kalau kita berpendapat bahwa alam ini tak ada batasnya, maka masalah adanya alam lain menjadi tak masuk akal. Apa pun dugaan kita mengenai alam lain, tentunya alam lain tersebut identik dengan alam ini, atau bagian dari alam ini.

Contoh ini berlaku untuk alam material maupun wujud mate¬rial yang terbatas, bergantung dan diciptakan. Realitas alam mate¬rial dan wujud material tersebut tidak mutlak, tidak mandiri, dan tidak ada sendiri. Alam material ini, meskipun tidak terbatas bila dilihat dari dimensi-dimensinya, terbatas bila dilihat dari realitasnya. Kalau dimensi-dimensinya tidak terbatas, maka tidak dapat kita bayangkan adanya alam lain.

Eksistensi Allah SWT tidak ada batasnya. Dia merupakan realitas mutlak. Dia ada di segala sesuatu. Dalam ruang dan waktu ada Dia. Dia lebih dekat dengan kita ketimbang urat leher kita sendiri.

Karena itu, mustahil kalau ada yang menyerupai-Nya. Bahkan kita tak dapat membayangkan adanya wujud lain yang seperti Dia.

Kita melihat tanda-tanda kearifan-Nya ada di mana-mana. Kita melihat satu kehendak dan satu sistem mengatur segenap alam semesta. Itu menunjukkan bahwa dunia ini pusatnya satu, tidak banyak. Seandainya ada dua Tuhan atau lebih, tentu dua kehendak atau lebih berlaku pada segala sesuatu, dan dua realitas atau lebih yang pusatnya berbeda tentu eksis di segala sesuatu yang ada. Akibatnya, segala sesuatu menjadi dua atau lebih. Kalau mengikuti proposisi yang tak masuk akal ini, maka sesungguhnya tidak ada yang eksis sama sekali. Inilah apa yang dimaksud oleh Al-Qur'an ketika mengatakan,

Sekiranya ada di langit dan di bumi Tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa. (QS. al-Anbiyâ': 22)

Menyembah dan Memuja

Karena mengakui bahwa Allah Maha Esa dan Mahasempurna, yang memiliki sifat-sifat paling tinggi, dan yang tidak memiliki kekurangan dan kelemahan, dan karena mengetahui hubungan-Nya dengan alam semesta, yaitu bahwa Dia Penciptanya, Penjaganya, Maha Pemurah, Maha Pengasih dan Penyayang, muncul reaksi dalam diri kita, dan reaksi tersebut disebut pemujaan dan penyembahan.

Menyembah merupakan satu bentuk hubungan antara manusia dan Penciptanya. Bentuk hubungan tersebut adalah tunduk patuhnya manusia kepada Allah, pujiannya, pemujaannya dan rasa bersyukurnya kepada-Nya. Hubungan seperti ini hanya dapat dilakukan oleh manusia dengan Penciptanya saja. Kalau hubungan seperti itu dilakukan dengan selain Penciptanya, maka itu tidak mungkin dan dilarang. Karena mengenal Allah sebagai satu-satunya sumber eksistensi dan satu-satunya Penguasa dan Tuhan segala sesuatu, maka kita merasa berkewajiban untuk tidak menjadikan makhluk sebagai sekutu-Nya dalam pemujaan kita. Al-Qur'an menegaskan bahwa hanya Allah sajalah yang harus disembah. Tak ada dosa yang lebih besar daripada menyekutukan-Nya.

Kini mari kita bahas apa ibadah itu dan hubungan seperti apa yang khusus bagi Allah dan yang tak dapat dilakukan dengan selain-Nya.

Definisi Ibadah

Untuk menjelaskan makna ibadah, dan untuk mendefinisikannya dengan benar, perlu disebutkan dua hal sebagai pengantar.

1. Ibadah terdiri atas perkataan dan perbuatan. Perkataan terdiri atas serangkaian kata dan kalimat yang kita baca, seperti memuji Allah, membaca Al-Qur'an atau membaca zikir atau doa yang lazim dibaca ketika melakukan salat, dan mengucapkan "Labbaik" selama haji. Sedangkan yang perbuatan adalah seperti berdiri, rukuk dan sujud ketika menunaikan salat, tawaf mengitari Ka'bah dan berada di Arafah dan Mahsyar ketika haji. Kebanyakan tindak ibadah, seperti salat dan haji, terdiri atas perkataan dan perbuatan sekaligus.

2. Perbuatan manusia ada dua macam. Sebagian perbuatan tidak memiliki tujuan yang jauh. Perbuatan seperti ini dilakukan bukan sebagai simbol sesuatu yang lain, melainkan dilaku¬ kan untuk mendapatkan efek alamiahnya sendiri. Misalnya, seorang petani melakukan kegiatan bertani untuk mendapat¬ kan hasil wajar dari kegiatannya itu. Kegiatannya tersebut dilakukan bukan sebagai simbol, bukan untuk mengungkapkan perasaan. Begitu pula dengan seorang penjahit yang melakukan kegiatan jahit-menjahit. Ketika kita melangkah ke sekolah, yang ada dalam benak kita tak lain adalah sampai di sekolah. Dengan perbuatan ini kita tidak bermaksud membawa tujuan lain atau makna lain.

Namun ada perbuatan yang kita lakukan sebagai simbol dari beberapa objek lain atau untuk mengungkapkan perasaan kita. Kita menganggukkan kepala sebagai tanda setuju, kita menunduk kepada seseorang sebagai tanda hormat kepada orang tersebut. Kebanyakan perbuatan manusia tergolong jenis pertama, dan hanya sedikit yang tergolong jenis kedua. Namun demikian, ada perbuatan yang dilakukan untuk mengungkapkan perasaan kita atau untuk menunjukkan maksud lain. Perbuatan ini dilakukan menggantikan kata-kata, untuk mengungkapkan maksud.

Berdasarkan dua hal di atas, maka dapat kita katakan bahwa ibadah, baik yang dilakukan dengan menggunakan kata-kata maupun tindakan, merupakan perbuatan yang memiliki makna. Melalui dedikasinya, manusia mengungkapkan suatu kebenaran. Juga, melalui perbuatan seperti rukuk, sujud, tawaf dan seterusnya, manusia ingin menyampaikan apa yang diucapkannya ketika membaca bacaan ibadah.

Semangat Memuja dan Ibadah

Melalui ibadahnya, balk yang dilakukan dengan menggunakan kata-kata maupun perbuatan, manusia menyampaikan hal-hal tertentu:

1. Memuji Allah dengan mengucapkan sifat-sifat khusus Allah yang mengandung arti kesempurnaan mudak, seperti Mahatahu, Mahakuasa dan Maha Berkehendak. Arti kesempurnaan mudak adalah bahwa ilmu, kuasa dan kehendak-Nya tidak dibatasi atau tidak bergantung pada yang lain, dan merupakan akibat wajar dari independensi total dan sempurna-Nya.

2. Menyucikan Allah, dan menyatakan bahwa Dia tidak memiliki kekurangan dan kelemahan seperti: mati, terbatas, tidak tahu, tak berdaya, pelit, kejam, dan seterusnya.

3. Bersyukur kepada Allah, dan memandang-Nya sebagai sumber sesungguhnya dari segala yang baik serta segala karunia dan rahmat. Percaya bahwa segala rahmat dan karunia diperoleh dari Allah saja, dan bahwa yang lain hanya perantara yang ditentukan oleh Allah.

4. Mengungkapkan ketundukan dan kepatuhan penuh kepada Allah, dan mengakui bahwa kepatuhan tanpa pamrih wajib diberikan kepada Allah. Karena Allah Penguasa Mudak dari segala yang ada, yang berhak mengeluarkan perintah, dan karena kita sebagai hamba, wajib menaati Allah.

5. Dalam sifat-sifat-Nya diatas, Allah tidak mempunyai sekutu. Hanya Dialah yang mudak sempuma, dan hanya Dialah yang tidak memiliki kekurangan. Hanya Dialah sumber sejati segala karunia, dan hanya Dialah yang patut disyukuri atas semuanya itu. Hanya Dialah yang patut dipatuhi sepenuhnya dan ditaati tanpa pamrih. Setiap kepatuhan lainnya, seperti menaati Nabi saw, para Imam, penguasa Muslim yang sah, orang tua dan guru, puncaknya haruslah berupa kepatuhan kepada-Nya, dan harus untuk mendapatkan rida-Nya. Itulah tanggapan yang tepat yang harus ditunjukkan seorang manusia kepada Allah. Tanggapan seperti ini hanya dapat dan boleh dilakukan terhadap Allah SWT.
Advertisemen