IBNU TAIMIYAH VERSUS PARA FILOSOF; KARANGAN Dr. ZAINUL KAMAL, M.A.

Advertisemen





Sebuah Resensi

Sampai saat ini logika Aristoteles masih menempati posisi terbaiknya dikalangan intelektual Barat maupun Timur, termasuk di Indonesia. Sejak kitab-kitab pemikir Yunani(logika Aristoteles, red) diterjemahkan oleh Pemikir Islam dan masuk ke Dunia Islam pada abad pertama hijriah, kemudian berkembang pada abad-abad berikutnya. Dalam perkembangannya itu, terdapat pro dan kontra di internal Umat Islam. Di antara para filosof Muslim yang mempunyai perhatian besar terhadap logika Aristoteles adalah tokoh-tokoh seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd. Mereka menggunakan logika untuk mempertahankan eksistensi ajaran Islam dari serangan penentang Islam yang bersenjatakan Logika Aristoteles. Dalam artian mereka menggunakan sistem senjata yang sama, bahkan mereka pertajam dengan nilai-nilai islam. Sebagai senjata apologi untuk melawan musuh-musuh Islam.


Namun tidak semua pemikir Islam sependapat dengan para filosof muslim itu. Diantara mereka seperti Ulama Salaf, ahli fikih dan hadis mengharam mempelajari Logika Aristoteles, seperti Imam Syafi’i dan Ibnu Shalah. Tidak jarang kritikannya bersifat emosional dan kurang proporsional. Adapun orang yang pertama menentang dan mengkritik secara khusus ajaran Aristoteles adalah Ibnu Taimiyah.

Baca juga : Filsafat: Modernisme, Post Modernisme dan Post Postmodernisme

Buku “Ibnu Taimiyah Versus Para Filosof” karangan Dr. Zainun Kamal, M.A yang sangat menarik dan penuh dengan dialektika pemikiran. Pembaca seolah diajak menjadi juri akan perdebatan, kritik-mengkritik seputar ukuran kebenaran mana yang pantas, apakah menurut Ibnu Taimiyah atau para filosof. Apa implikasi ketika argumentasi yang satu dianggap benar, dan argumentasi yang lain dianggap salah, atau bahkan kedua-duanya salah? Dalam buku ini Ibnu Taimiyah berupaya menunjukkan kerancuan logika aristoteles yang sangat diagung oleh pengikut-pengikutnya para filosof muslim, namun alih-alih hendak menunjukkan kerancuannya, argumentasinya dalam mengkritik telah membawa dan membuat para filosof menjuluki dia sebagai pelopor mazhab empirisme yang berkiblat pada epistemologi bayani. Sebuah mazhab pemikiran yang menitik fokuskan ukuran kebenaran berdasarkan pengalaman inderawi yang empiris menggunakan penalaran induksi, yakni penarikan kesimpulan yang diambil dari kasus-kasus yang khusus menuju kasus-kasus yang umum.
Kritik Ibnu Taimiyah tidak hanya tidak hanya menyangkut pada prinsip-prinsip logika dan hukum kausalitas, tetapi juga prinsip dasar logika Aristoteles, deduksi dan silogisme. Bahkan unsur pembuatan silogisme pun dikritiknya, yaitu mengenai definisi serta para filosof muslim yang terpengaruh logika Aristoteles. Dari semua macam-macam definisi, definisi analisis sempurna yang menurut Aristoteles merupakan definisi terbaik karena langsung mengarah ke hakikat sesuatu, namun tidak dengan Ibnu Taimiyah, Menurutnya definisi itu adalah definisi paling rendah dan buruk, bahkan definisi yang dianggap oleh Aristoteles merupakan definisi yang terendah, bagi Ibnu Taimiyah terbaik, yaitu definisi nominal tak logis.

Baca juga :  Manusia: Bebas dalam Keterbatasan dan Terbatas dalam Kebebasan (Sebuah Kontemplasi Kolektif )

Sungguh pun demikian, respon para sarjana Muslim terhadap Aristoteles telah banyak menghasilkan buah intelektual yang mengagumkan, terbukti karya-karya besar berkaitan dengan logika telah memperkaya khazanah intelektual Islam. Logika Aristoteles merupakan Neraca bagi Seluruh Ilmu pengetahuan kata Al Ghazali, bagi Ibnu Sina merupakan undang-undang yang menjaga akal dari kesalahan, dan membedakan antara yang betul dan yang salah, sehingga akal sehat dapat berfungsi dengan baik. Bahkan Ibnu Rusyd dalam pengantar Kitab At-Thabi’iyat(Kitab Fisika) sebagaimana dikutip oleh Zainun Kamal, sangat memuji Aristoteles dengan mengatakan:

Pengarang kitab ini(logika aristoteles., red) adalah Aristoteles, filosof agung dan paling jenius, peletak pertama ilmu logika, fisika, metafisika. Ilmu-ilmu ini ditulisnya sekaligus dengan cara tersempurna, yang tidak pernah tercapai oleh filosof sebelum dan sesudahnya. Orang yang datang sesudahnya tidak mampu berbuat sesuatu melebihinya, tetapi selalu mengambil darinya. Sampai saat ini (masa Ibnu Rusyd, Red) tidak seorang pun dari para filosof yang sanggup menambahkan sesuatu yang baru, atau menemukan sesuatu yang salah dan keliru dari Aristoteles. Ini sungguh aneh dan luar biasa, mu’jizat kata ibnu Rusyd: karena semua ilmu ini (logika, fisika dan metafisika, red) telah terkumpul pada diri satu orang. Karena keistimewaannya itu, ia lebih pantas disebut sebagai seorang pribadi yang bersifat Ilahi ketimbang pribadi manusiawi.
Advertisemen